Senin, 31 Oktober 2011

Catatan Perjalanan Pasca Letusan Egon (1) Membaca Kedashyatan Amukan Egon


Oleh: Steph Tupeng Witin
Pater Steph Tupeng Witin
Kedashyatan semburan lahar dan abu panas Gunung Egon pada 15 April 2008 lalu begitu terasa saat memasuki Dusun Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete, Kamis (8/5). Abu Egon melaburi wilayah itu. Bau belerang masih terasa menyengat. Letusan itu telah menimpa Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara, Desa Egon dan Desa Nanga Tobong, Kecamatan Waigete. Sekretaris Karitas/Sekretaris Puspas Keuskupan Maumere, Kanisius Kasih menginformasikan bahwa sejak Egon meletus Blidit adalah kawasan yang menjadi hunian pengungsi. Saat kunjungan itu masih 8 kepala keluarga yang mengungsi. Situasi memang sudah normal. Pertanyaan, mengapa 8 kepala keluarga masih bertahan sedangkan pengungsi yang lain sudah kembali ke titik normal?

Eduardus Eting, salah seorang pengungsi mengisahkan, letusan Gunung Egon telah menghancurkan rumah, kebun dan tanaman. Mereka tidak bisa kembali lagi ke kehidupan yang semula. Jika kembali pun, mereka harus memulai lagi dari awal. Coklat, kelapa, kemiri, kopi, vanili, cengkeh dilumuri lahar panas dan abu vulkanik. “Padi dan jagung di kebun tidak bisa menghasilkan karena rata dengan tanah.
Saat letusan itu padi masih basah, belum ada isi. Wortel dan ubi rusak karena terkena lahar panas. Kami tidak bisa tinggal lagi di atas. Kami hanya pergi pulang lokasi itu sebagai kebun. Kami minta pemerintah dan pihak LSM membantu hidup dan masa depan kami. Kami kehilangan semuanya.”

Kasianus Lado, pemilik rumah yang menampung para pengungsi Gunung Egon mengatakan, sejak letusan terjadi, para pengungsi mendapatkan bantuan dari pemerintah dan LSM serta Gereja berupa beras, sarimi dan jenis-jenis bantuan pangan lainnya. Menurutnya, kesulitan paling besar adalah ketersediaan air bersih. “Memang ada oto tangki yang menghantar air ke sini setiap hari. Tapi kami jadi ragu, apakah air yang dibawa mobil itu bersih atau tidak? Di sekitar sini ada mata air yang belum dimanfaatkan oleh pemerintah. Gunung Egon ini ‘kan tetap aktif. Maka kita minta pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya letusan lagi dengan menyediakan sarana air minum yang bersih bagi warga pengungsi nanti yaitu memanfaatkan sumber mata air “ahu wair.” Kami di Blidit ini hidup dari mata air kecil “wair gu” tapi saat ini kapteringnya sudah rusak. Selama ini kami berusaha sendiri dengan membeli kaptering. Kami minta pemerintah atau pihak lain untuk membantu kami menyediakan sarana air bersih bagi hidup kami di masa yang akan datang, tidak hanya untuk pengungsi tapi juga terutama untuk warga di sekitar Blidit ini.”

Apakah benar bahwa tanaman dan rumah penduduk hancur? Benarkah bahwa kehidupan tidak lagi berjalan normal? Kami tiba di Ladan Gawat, Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara. Matahari di atas ubun-ubun. Menyengat. Lokasi itu terletak persis di bawah Gunung Egon. Kedashyatan lahar panas dan abu sangat kuat terasa di sini. Dedaunan mangga dan pisang dilumuri lahar panas. Tanaman ubi, wortel dan keladi kehilangan daun. Buah advokat terjatuh. Dahan pepohonan patah karena tidak mampu menahan beratnya lumpur panas yang basah. Sejauh mata memandang, seluruh wilayah itu dilanda lahar panas yang telah mengering. Tengik belerang terasa menusuk hidung.

Maria Tuone Lenti (25) yang tengah menggendong anaknya, Hendrika Yeli (11 bulan) dalam sarung hitam, sedang berdiri di depan rumahnya yang berdinding belahan bambu dengan dua kamar yang diseraki buah advokat. Rumah itu kokoh berdiri dan tidak sedikit pun mengalami kerusakan. Tiang-tiangnya kokoh meski sederhana. Kamar-kamarnya kosong. “Semua barang sudah dibawa ke Blidit. Sejak letusan Gunung Egon. Kami datang pagi dan sore kembali ke Blidit. Kami bawa ubi, keladi dan sayur yang kami bersihkan,” katanya. Ia selanjutnya mengisahkan kejadiaan naas malam itu saat puncak Egon mengeluarkan lahar panas cair dan abu. “Malam itu sekitar jam 10.00. Kami siap untuk tidur. Tiba-tiba kami mendengar bunyi ledakan yang kuat. Lahar basah dan abu panas turun melanda wilayah ini. Tubuh kami juga terkena abu panas. Kayu-kayu patah. Batu-batu berhamburan. Kami berlari menuju Blidit. Hanya pakaian di badan. Lumpur jatuh melekat di badan. Panas. Rambut penuh lumpur dan abu. Untung kami cepat. Kalau tidak, mungkin kami mati.”

Saat kami memasuki kebun, kerusakan dan kehancuran tanaman tidak seperti yang diinformasikan saat kami berada di Blidit. Ubi, keladi, wortel dan tanaman pangan lain tetap aman dalam tanah. Cuma tanah bagian atas dan dedaunan yang dilumuri lahar panas dan abu vulkanik. Bahkan Kanisius Kasih, Sekretaris Karitas dan Flores Pos masuk ke kebun padi dan meraba bulir padi yang tetap berisi meski merunduk karena tertimpa beban lahar panas dan abu. “Padi tetap berisi. Memang sebagian kecil rusak. Jagung tetap baik, tidak rusak. Situasinya sudah normal. Mestinya mereka segera kembali ke lokasi untuk membersihkan kebun dan ladang mereka.”

Bukan Putera Daerah

Drs. Humerus Andreas
Mantan Camat Mapitara, Drs. Humerus Andreas bukanlah seorang 'putra daerah Mapitara'. Humerus berasal dari Gedo, Kecamatan Bola. Suatu saat kami berharap Camat Mapitara dijabat oleh 'Putra Daerah Mapitara'. Itu impian kami karena sudah banyak kader yang menunggu.

Humerus ketika menjabat begitu menghargai warga Mapitara. Awal Maret 2008 lalu, saat bertemu dengan saya di bandara Eltari-Kupang kami bersalaman dan melaporkan ke saya bahwa di lokasi Wisa Detut yang terletak di Desa Hebing akan dibangun Klinik Kesehatan serta kantor Camat akan dibangun di dusun Galit. Saya mendengar dengan seksama namun terasa lucu dan bertanya pada diri sendiri, "Saya ini siapa, sehingga harus menerima dan mendengar laporan dari seorang Camat?

Provisiat Mo'at Humerus yang membangun dengan hati untuk Mapitara. Dalam berita yang dimuat di blog Spirit NTT- Kupang, Camat ini juga mengusung Mapitara menjadi terdepan dalam realisir BLT. Klik: http://spiritentete.blogspot.com/2008/10/kecamatan-mapitara-terdepan-realisir.html. Lanjutkan Mo'at Camat!

Saya mengenal Humerus sejak masih duduk  di bangku sekolah. Ini karena masa kecil saya hingga SD, saya lewatkan di kampung Bola, Kecamatan Bola Sekolah menengah pertamanya dilewatkan di SMP Katolik Watukrus-Bola berdekatan dengan rumah tempat tinggal saya. Beliau dengan setia menggayuh sepedanya secara ulang-alik dari Gedo menuju Bola Rota. Pagi hari sekolah, sore hari untuk studi sore. Rajin, dan ulet itulah membuahkan hasil menjadikan dirinya seorang Camat. Rumah orangtuanya persis berada di atas kali Gedo tetangga dengan rumah almarhum Mo'at Guru Lalong.

Jumat, 28 Oktober 2011

Kepala Desa Hebing Dilantik

HEBING--Camat Mapitara, Frans Ajutor, Rabu (19/10) lalu, bertempat di halaman kantor Kepala Desa Hebing melantik Polycarpus Gege (49), sebagai Kepala Desa Hebing, periode 2011-2017.

Hadir dalam acara pelantikan tersebut, Asisten I, Setda Kabupaten Sikka, Drs. Simon Subsidi, Kepala PMDS, Robertus Rai, Kepala Desa Natakoli dan Egon Gahar, Kapolsek Kecamatan Bola, Koramil Kecamatan Bola, Kepala Puskesmas Rawat Nginap Mapitara beserta seluruh staf, Kepala SMP PGRI Lero Ha'e, Bernardus Baba, Kepala SDK Watubaler, Kepala SDN Inpres Hebing dan Kepala SD Kecil Galit.

Ribuan warga dari tiga dusun, Dusun Galit, Dusun Hebing, dan Dusun Pedat tumpah ruah di jalan menggelar prosesi pelantikan yang dikemas dalam tarian-tarian adat, dan ritual adat lainnya, seperti huler wair.

Frans Ajutor, dalam sambutannya usai melantik mengatakan politik pilkades memiliki dua sisi, ada yang dipilih dan ada yang tidak dipilih. Jika yang dilantik sekarang adalah yang tidak dipilih sebagian warga Desa Hebing maka Ajutor mengajak seluruh warga  Desa Hebing untuk terus mendukung kepemimpinannya.

Melayani Masyarakat 

Sementara Polycarpus dalam sambutannya setelah dilantik mengatakan hari pelantikan ini merupakan hari yang sungguh membahagiakan bagi masyarakat Hebing, karena estafet kepemimpinan dari orang tuanya di masa orde lama kini kembali ke tangannya di masa reformasi dengan gaya kepemimpinan yang sangat berbeda, jauh dari anggapan banyak warga bahwa kepemimpinan orangtuanya yang diktator.

Penegasan tersebut disampaikan Polycarpus karena, warga Dusun Galit  ketika menggelar tarian dalam prosesi pelantikan, menari dan berpantun melontarkan pantun-pantun bernada kritik namun menaruh harapan dari kadernya yang saat ini memimpin Desa Hebing.

"Masyarakat Dusun Galit, Dusun Hebing, dan Dusun Pedat telah memilih saya menjadi Kepala Desa dengan hati yang tulus ikhlas, tanpa tekanan, paksaan maupun sogokan, oleh karena itu dengan tulus ikhlas pula saya akan memimpin dan melayani warga desa tercinta,"ujar suami Rikarda Lodan, S.Pd, yang juga Kepala SD Inpres Hebing.

Dikatakan Polycarpus, masyarakat ketiga dusun tersebut merindukan seorang pemimpin yang memiliki sikap melayani, yang sungguh mendengarkan keluh-kesah mereka dengan baik.

Harapan masyarakat Desa Hebing menurut Polycarpus, akan terwujud  jika terjalin kerjasama yang harmonis antara Kepala-Kepala Dusun, tokoh masyarakat serta warga desa Hebing, secara bahu-membahu mewujudkan program kerja yang telah dicanangkan.

Polycarpus juga menjelaskan harapan warga saat ini adalah mereka menginginkan jalan dan transportasi yang lancar, penerangan, sinyal handphone. Hal ini mendesak, karena akan membuka isolasi desa yang hingga saat ini masih dirasakan.

Selain itu Polycarpus juga mengajak warga untuk bersama-sama menata lingkungan dan perumahan agar tampak rapi dan sehat. Warga yang tinggal di kebun dihimbau untuk kembali ke rumahnya usai berkebun. 

Untuk Dusun Galit, dalam waktu dekat akan diupayakan pipanisasi dengan mengalirkan sumber air dari Desa Natakoli melalui kerjasama dengan Kepala Desa Natakoli. Untuk penerangan, dirinya akan melakukan pendekatan dengan pemerintahan agar proses penerangan segera terealisir.

Program-program baik yang telah dirintis Kepala Desa sebelumnya akan dilanjutkan dia. Oleh karenanya, Polycarpus mengajak seluruh warga untuk "Mai lemer watu ita mogat, bawak papan ita mogat" yang bermakna kerjasama,bahu membahu secara bersama. Dengan demikian akan dapat menjawab semua kebutuhan masyarakat Desa Hebing. Proficiat Mo'an Poly!(***)



















Kamis, 27 Oktober 2011

Eksotisme Pantai Doreng

Pantai Doreng--Foto by: Fransisca Kandida Peha
Mendung menggelayut di atas langit. Jejak-jejak tapak kaki membekas di atas pasir putih, seakan-akan memahat kehadiran www.inimaumere.com untuk pertama kalinya menyinggahi pantai berpasir putih, Pantai Doreng.

Eksotisme pantai berpasir putih ini ditawarkan secara cuma-cuma kepada kami. Kali ini, kami seakan-akan seperti Baginda Raja yang di hadiahi pantai berlaut bening yang sangat alamiah dan masih perawan. Deburan ombak pantai selatan terdengar seperti lantunan nada-nada romantis dan menghanyutkan perasaan. Kami ingin berlama-lama di sini, menjelajahi setiap halaman-halaman tubuhnya, menikmati setiap gemuruh dan desah ombaknya, merengkuh setiap lekuk-lekuk tubuhnya. Di sini pula kami ingin menikmati tawaran eksotisme perawan cantik yang belum terjamah laju aktifitas kehidupan moderen.

Pantai Doreng berada dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Pantai berpasir putih ini terletak di pantai selatan Kabupaten Sikka atau Pulau Flores (Kota Maumere terletak di pesisir pantai utara) dengan hamparan laut luas yang membentang di depannya, Laut Sawu. Nama Doreng sendiri dalam penuturan masyarakat setempat kepada kami berasal dari nama seorang perantau asal Flores Timur bernama Doren yang pernah mampir di kampung ini. Sedang versi lain mengatakan berasal dari bahasa setempat Doreng yang artinya menggantung. Ini berhubungan dengan cerita tentang sebuah salib besar yang pernah ditancapkan di Pantai Doreng. Salib itu kini telah tiada, konon salib Watu Cruz di Pantai Bola dulunya pernah ada di Pantai Doreng. Cerita ini masih berkaitan dengan keberadaan dua misionaris Katoilk asal Portugis jaman dulu yang kini makamnya telah diketemukan oleh masyarakat sekitar. Makam tersebut terletak berdekatan dengan Pantai Doreng.

Ada dua rute menuju Pantai Doreng. Pertama bisa melewati jalur atau rute Kewapante. Dari Kota Maumere, rute ini agak kejauhan. Rute kedua bisa melewati Desa Waipare. Rute Waipare berdekatan dengan Kota Maumere. Kedua rute yang berada di lintasan jalan raya menuju arah timur Kabupaten Sikka inilah yang mengawali perjalanan menuju Pantai Doreng. Kata orang, rute Waipare medannya lumayan lebih baik dari pada menggunakan rute Kewapante. Kami ingin membuktikannya dengan melewati kedua rute. Keberangkatan kami pertama kali akan melewati rute Kewapante, pulangnya melewati rute Waipare.

Setelah melewati medan yang terbukti lumayan berat akhirnya kami mendekati kawasan berpasir putih, Pantai Doreng. Dari sinilah mobil yang kami tumpangi bertambah oleng kiri-kanan dengan kecepatan yang sangat pelan, maklum ruas jalan yang kami lewati rusak berat.”Kami ingin pemerintah memperhatikan desa kami,kenapa jalan tak pernah diperbaiki?”, demikian penuturan seorang warga Doreng ketika kami melakukan tatap muka dengan warga Nen Bura di kantor desa setempat. Bapak Camat Doreng mengatakan bahwa untuk tahun anggaran ini rencana perbaikan jalan yang rusak telah masuk dalam agenda pemerintah. Ya, inilah akses menuju Pantai Doreng. Jika tak ada perhatian, niscaya Pantai Doreng cuma tinggal cerita karena akses menuju pantai indah ini membuat yang ingin berkunjung mengurungkan niatnya, kecuali ia memiliki ketabahan yang lumayan.

Paparan pantai indah langsung terlihat dari ketinggian. Dari sini kita bisa menikmati riak-riak gelombang dengan buih-buih ombaknya yang saling berebutan menuju bibir pantai. Perasaan lega memenuhi dada kami. Rasa bete dan capek dalam perjalanan terobati dengan kompensasi yang lumayan. Jika saja ada investor yang mau membangun tempat-tempat penginapan di ketinggian maupun di pesisir pantai dengan di dukung promosi dari pemerintah daerah, jelas akan banyak wisatawan yang akan berkunjung kesini. Langsung atau tidak kehidupan ekonomi masyarakat setempat akan terangkat. Yang penting adalah akses jalan yang rusak segera di perbaiki.

Memang disini tak ada sama sekali penginapan. Apalagi warung-warung makan. Singkat kata belum terjamah kehidupan moderen. Masyarakat desa masih mengandalkan hasil bumi perkebunan untuk menopang kehidupan mereka. Suasana alamiah sangat terasa ketika berada di kawasan ini. Kami tak bosan-bosan mengabadikan panorama alam Pantai Doreng ke dalam kamera kami. Selain kami tak ada satu pun pengunjung atau wisatawan yang berada di Pantai Doreng.

Panjang pantai berpasir putih ini sekitar 4 kilometer. Kedua ujung pantai ini memiliki hamparan pasir hitam alias pasir besi. Batu-batu hitam mengkilap terlihat di sekitar bagian bawah tebing. Sesekali ombak-ombak besar menghantam batu-batu ini, pecah berantakan dengan buihnya yang menjulang tinggi. Alamiah banget.

Lebar pantai berpasir putih sangat lumayan. Bahkan pasir putih ini melebar sampai ke pemukiman rumah warga dan jalan sekitar. Melihat kami datang beberapa anak kecil mendekati kami dengan senyum yang ramah. Sepanjang pemotretan mereka mendampingi kami dan tak sungkan-sungkan membantu kami ala kadarnya.

Di Desa Nen Bura (Pasir Putih) kita juga bisa membawa oleh-oleh sovenir cantik yang di buat oleh ibu-ibu. Souvenir dalam bentuk asbak, boneka-boneka kecil dan lain-lain dibuat dengan menggunakan siput atau kerang dan pasir besi yang di ambil dari Pantai Doreng. Kelihatan cantik dan bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

Setelah berlama-lama di Pantai Doreng, kami mulai merasa capek luar biasa, Pak Camat yang mendampingi kami sepanjang pemotretan juga mengalami keadaan yang sama. Di bawah rindangan pepohonan pantai kami mengusir kepenatan dengan menjelajahi panorama pantai dengan sepasang mata indah yang kami miliki.

Ya, akhirnya kami pun beranjak meninggalkan Pantai Doreng. Mendung yang sedari tadi mengelayut di atas langit mengisyaratkan akan hadirnya sang hujan. Bergegas kami meninggalkan pantai berpasir putih ini. Kami berjanji akan hadir kembali dan akan menjelajahi kawasan Pantai Doreng, salah satunya kami akan menuju Gua Elang yang berdekatan dengan kawasan Pantai Doreng.[Sumber: www.inimaumere.com]

Rabu, 26 Oktober 2011

Kecamatan Mapitara Bebas Rabies

E-mail Print PDF
Maumere, FloresNews.com - Kecamatan Mapitara di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur sudah bebas dari penyakit rabies setelah semua anjing di wilayah itu dieliminasi dan divaksi anti rabies (VAR)."Masyarakat kami sudah mulai sadar akan bahaya penyakit tersebut, sehingga anjing piaraan masyarakat rela dieliminasi dan diberi VAR," kata Kepala Puskesmas Mapitara Servinus Ben Kesar ketika ditemui di Mapitara, sekitar 70 km timur Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, Sabtu (27/8).

Ia mengatakan Kecamatan Mapitara merupakan salah satu dari 21 kecamatan di Kabupaten Sikka yang saat ini sudah bebas dari rabies.Mantan Kepala Puskesamas Habibola itu juga mendukung usulan salah seorang anggota DPRD Kabupaten Sikka Siflan Angi yang menyarankan pemerintah agar melakukan elimnasi total dan memberi vaksin anti rabies terhadap semua anjing piaraan masyarakat.

Menurut Servinus selama masyarakat belum rela anjing piraan dieliminasi dan diberikan vaksin anti rabies, maka kasus rabies di Kabupaten Sikka tidak akan pernah hilang."Selama masyarakat belum rela anjing piaraannya dieliminasi, kasus rabies di Sikka tetap saja ada," kata Silfan Angi yang juga Ketua Nasional Demokrat itu di Maumere.

Ia berpendapat pemerintah Kabupaten Sikka perlu membuat peraturan daerah atau peraturan bupati sebagai dasar hukum untuk mengeliminasi total anjing di wilayah Kabupaten Sikka."Jika tidak ada aturan hukum yang mengatur tentang masalah itu, masyarakat tidak mungkin akan merelakan anjing piaraannya dibunuh (eliminasi)," katanya.

Kasus rabies di Sikka dan sebagian besar wilayah lainnya di Pulau Flores masih rentan terhadap wabah rabies, karena keengganan masyarakat merelakan anjingnya dibunuh serta kehabisan VAR.Secara terpisah seorang dokter ahli yang menangani kasus rabies di Kabupaten Sikka drh Yersi mengatakan dari 30 sampel kepala anjing yang dikirim Dinas Peternakan Kabupaten Sikka ke Balai Besar Veteriner Maros di Sulawesi Selatan, 17 di antaranya atau 60,7 persen positif rabies."Hasil itu memang mencengangkan, namun ironisnya persediaan vaksin antirabies (VAR) di Dinas Peternakan Sikka tidak ada lagi," katanya.

Ia mengatakan populasi anjing di Kabupaten Sikka saat ini semakin tidak terkendali, sementara vaksin antirabies (VAR) sudah tidak ada lagi.Menurut Yesri langkah mendesak yang perlu dilakukan sekarang adalah eliminasi total terhadap anjing piaraan masyarakat di Kabupaten Sikka, karena program vaksinasi belum bisa berjalan menyusul ketiadaan VAR.

Menurut Yersi wabah rabies di Flores ditemukan pertama kali di Kabupaten Flores Timur pada 1998, dan menyebar begitu cepat ke sembilan kabupaten yang ada di Pulau Flores, termasuk di antaranya Lembata."Sejak 1998 sampai 2011 korban tewas akibat gigitan anjing rabies di Flores mencapai 215 orang dari 27.386 korban gigitan anjing," ujar Yesri.(ant)

Selasa, 25 Oktober 2011

Mengenal Wisata Budaya di Kecamatan Mapitara

Di kecamatan ini terdapat beragam ritual budaya yang masih dilestarikan. Di antaranya adalah ritual budaya bernama: PIRE TANA. Lokasi ritual ini biasanya dilakukan di Watugete- Desa Hale (Mahe Natar-Mage). Waktu pelaksanaannya 5 (lima) tahun sekali tergantung hama/penyakit tanaman terjadi. Sesajen/ penyembelihan hewan kurban berupa kambing/babi pada hari pembukaan dan dilanjutkan dengan tidak melakukan kegiatan kerja selama 5 (lima) hari. Ritual PIRE TANAH (Pantang Bekerja) dijalankan masyarakat kecamatan Mapitara yang meliputi wilayah Desa Natakoli, Desa Egon Gahar, Desa Hebing dan Desa Hale.

Tradisi ritual budaya lainnya yang tak kalah menarik adalah TOGO PARE. Tradisi ini berlangsung jika salah seorang warga berkelimpahan panen padi ladang. Dulu, tradisi ini biasa dan berulangkali dilakukan oleh Tana Puan Mo'at Toni baik di Wisa Detut, Desa Hebing atau di lokasi ladang lainnya yang terletak di Desa Natakoli. Mo'at Toni (kini sudah almarhum) merupakan Tuan Tanah di Desa Hebing yang memiliki ribuan hektar tanah. Kini, beberapa hektar tanahnya di Wisa Detut (dataran Wisa) melalui anaknya Mo'at Sosi, dipersembahkan ke Pemerintahan Kecamatan Mapitara dan saat ini sedang dibangun sebuah Klinik Kesehatan berkapasitas 20 kamar.

Selain ritual budaya tersebut, juga terdapat tradisi tarian daerah yang dinamakan LEDEK (tarian sebelum perang) yang hingga saat ini masih dilestarikan. Saat digelar, biasanya para pria akan ka'he (berteriak dengan bahasa adat setempat) menandakan mereka siap dan berani dengan peralatan perang untuk menyerbu musuh.

Di Desa Hebing, tepatnya dekat lokasi rumah keluarga Tanah Pu'an Badar, terdapat Menhir dan Pepunden Berundak--tempat untuk ritual adat dan sesajen. Di situ juga terdapat kuburan beberapa leluhur yang merupakan tokoh perintis kampung Hebing. Mereka adalah Tanah Pu'an Badar, Mo'at Gege, dan Mo'at Pipak, pendatang dari kampung Sikka, Mage Gege yang memilih menetap dan menguasai kampung Hebing. Keturunannya adalah almarhum Mo'at Darius Jarang, salah satu tokoh masyarakat yang memperkenalkan agama Katolik di Hale Hebing serta mempersembahkan tanah miliknya untuk dibangun Gereja Renha Rosario Hale Hebing. Almarhum Mo'at Darius ini dikenal sebagai Penolong (istilah untuk Penyebar Agama Katolik/Katekis). Keturunan dari almarhum Mo'at Darius: almarhum Mo'at Andreas Leo (Kapitan Leo), pernah memimpin Gemeente Doreng (Gemeente yang menguasai wilayah Kecamatan Doreng, Maget Legar, dan Kloangpopot serta wilayah kecamatan Mapitara) kala itu. Beliau juga termasuk salah satu penggagas berdirinya SMP PGRI Lero Ha'e Hale Hebing yang kala itu diresmikan Bupati Sikka, Drs. Daniel Woda Pale. SMP ini telah melahirkan lulusan-lulusan terbaik yang telah menyandang gelar sarjana maupun menjadi biarawan dan biarawati. Sebut saja mereka adalah: Sr. Gustanda Praksedes Iry, OSU, Rm. Yos Anting, Pr (baru ditabhis Juni lalu dan kini berkarya di Keuskupan Pangkalpinang), Pak Romanus Remigius.(**)

Minggu, 23 Oktober 2011

Paskalis Pieter, SH, MH: Advokat Sejati Penentang Hukuman Mati

Paskalis Pieter, SH,MH
Manusia sebagai citra Allah di muka bumi sangat mulia. Tidak ada yang berhak mematikannya. Hanya Tuhan, Sang Pencipta yang berhak mengakhiri kehidupan seseorang.

Pendapat ini begitu kuat dibenak Paskalis Pieter, SH (49) sehingga seluruh pengabdiannya di bidang hukum digunakannya untuk menentang hukuman mati. Tesis S2-nya pun bernada sama, mempertanyakan eksistensi hukuman mati.

“Hukuman mati itu produk politik. Manusia adalah ciptaan Tuhan, eksistensinya harus dipertahankan,” katanya ketika ditemui di kantornya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan (23/5).

Dalam perspektif peraih Man of The Year 2001 dari Yayasan Penghargaan Indonesia ini, hukum positif Indonesia melindungi hak manusia untuk hidup. Keyakinan itu pula yang menjadi pegangan Paskalis untuk tekun berprofesi sebagai dvokad dan enasihat hukum.

Kapitang
Hukum bagi Paskalis bukan hal yang asing. Sejak kecil ia bersentuhan dengan dunia tempat orang mencari keadilan. Ia terinspirasi kebijaksanaan sang ayah. Ayahnya, ketika Paskalis kecil, adalah Kapitang, penguasa di kawasan Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Posisi Kapitang begitu dihormati. Jabatan ini memiliki wibawa dan diakui masyarakat. Lewat jabatan ini setiap permasalahan diselesaikan. Baik menggunakan hukum adat atau melalui hukum positif.

Melihat kesibukan dan earifan sang ayah, Paskalis pun berniat mendalami hukum. Karena itu ia bersekolah di Sekolah Hukum Bandung.

Segudang aktivitas di dunia LSM hukum mengangkat namanya. Asas advokat untuk tidak menolak perkara begitu mendarah-daging baginya.

Tidak heran sejumlah kasus yang tidak populer plus beresiko tinggi menjadikan ia sebagai pembela hukum. Catat saja bagaimana ia harus membela Yeni Rosa Damayanti, cs dalam perkara penghinaan Presiden Soeharto dan membela pembunuh pelukis tenar Basuki Abdullah.

Namanya semakin meroket ketika berdiri di pengadilan sebagai kuasa hukum Drs. Soerjadi dalam perkara gugatan Kongres PDI di Medan dari pihak Megawati Soekarnoputeri yang kemudian berlanjut ke kasus 27 Juli 1996 yang menghebohkan itu.

Ia juga menyingsingkan lengan ketika membela “ratu Ekstasi” Zarima, kasus peledakan bom BEJ, serta kasus terdakwa ketua SIRA Aceh.

Dari sekian kasus yang ditangani, Paskalis mengaku terkesan saat membela Fabianus Tibo (kasus Poso) dan Alex Manuputty (kasus Ambon). Pada kasus terakhir ia begitu sedih karena menjadi saksi koyaknya budaya pela gandong yang diagungkan masyarakat Maluku. Konflik horisontal bernuansa agama telah mengoyak persatuan di kalangan masyarakat Maluku dan memerlukan waktu lama untuk disembuhkan.
Paskalis Pieter sekeluarga

Advokat Profesional
Bersinggungan dengan kasus-kasus politik, memang digemari ketua Komite Pembaharuan Peradilan Indonesia (KPPI) ini, namun ia memaknainya sebagai panggilan tugas. “Saya membela kepentingan hukum, bukan mereka. Jangan sampai hak-hak mereka dilanggar,” tutur pengurus Tim Pembela Kebebasan Beragama ini.

Meski demikian keberadaan Paskalis sebagai pembela kerap disamakan dengan terdakwa yang sudah “dihakimi bersalah”. Apalagi pendapatannya sudah pasti bersumber dari yang dibela.

“Klien membiayai perkara hukumnya. Dan itu konsekuensi dari beracara di pengadilan. Tetapi klien tidak boleh mengatur advokat dalam menegakkan hukum terkait masalahnya,” ujar aktivis PBHI ini.

Dalam menegakkan hukum, advokat berpegang pada bukti; kesaksian, data dan fakta. Prosesnya bisa jadi lama. Tidak sedikit yang tidak sabar dan akhirnya menempuh jalan pintas. Dan advokat pun terseret dan dituding menjadi “broker”.

“Saya tidak mau menghakimi, tapi memang itu sudah omongan di tengah masyarakat. Tetapi tidak semua yang diasumsikan benar. Masih banyak yang memilih jalan lurus guna menegakkan hukum.”

Karena itu Paskalis menyarankan, pentingnya moral dalam diri advokat. “Membela merupakan implikasi pelaksanaan moral; membantu dan menjalankan tugas,” katanya.

Pengagum pendekar hukum Adnan Buyung Nasution ini masih punya obsesi lain di bidang hukum. Ia merindukan persatuan di kalangan advokat. “Kalau polisi satu, hakim satu, jaksa satu, mengapa advokad tidak bisa satu?” tanyanya, sambil embandingkan dengan aparat enegak hukum lain. Karena itu ia begitu rajin enggalang pembentukan wadah yang empersatukan organisasi advokat yang tumbuh dan bertambah.

Sumber: Majalah Bahana, Juli 2008

Jumat, 21 Oktober 2011

Sekilas Komunitas dan Profil Mapitara

Arisan Komunitas Mapitara  Jabodetabek
Kecil itu indah, demikian julukan yang agak pas untuk Komunitas Mapitara di Jakarta dan sekitarnya. Komunitas ini belum lama terbentuk namun berusaha untuk terus memberi makna bagi sesama komunitas. Mereka punya keinginan besar untuk membangun kampung halamannya. Ide-ide kreatif bergulir ketika mereka berkumpul secara rutin setiap beberapa bulan.

Keinginan untuk memberdayakan SDM, memberdayakan ekonomi dan pemberdayaan sosial lainnya perlahan mereka rajut bersama. Komunitas ini berprinsip: "Anda bisa, kenapa kami tidak bisa?" SDM-SDM profesional dalam bidangnya telah lahir di kampung komunitas ini berasal dan telah mengisi posisi-posisi penting baik di birokrat, politik, profesional, biarawan dan biarawati yang berada di Italia, Roma, dan lain-lain. “Banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih!” Di kecamatan komunitas ini berasal pun telah menabiskan 3 biarawan. Satu di antaranya telah menyelesaikan masternya di AS dan 3 biarawati dimana satu di antaranya sedang berkarya di Filipina.

Sr. Yunince Deru
Pater Yos Ozorio
Di kalangan profesional (Wartawan, Pengacara, Konsultan Komunikasi, Pendidik, Birokrat, Politisi) mereka telah berkiprah dan menekuni bidangnya secara profesional. Mereka pun telah menyebar di beberapa wilayah di Indonesia maupun di luar negeri.

Sr Gustanda Iry & Sr. Yunince Deru
Di Hewokloang, Kabupaten Sikka, mantan Camat Hewokloang dijabat oleh Bpk. Matheus Tadeus, putra blasteran Pedat-Hebing-He'o. Beliau pernah juga menjabat sebagai Camat Mapitara meski cuma sebentar.

Di Kabupaten Sikka, ada Bpk. Drs. Simon Subsidi yang menjabat sebagai Kepala BPM Kabupaten Sikka. Beliau juga mantan Camat Bola.

Di Ruteng-Manggarai, ada juga seorang pengusaha perhotelan, Stephanus Blasing.

Di Kupang-NTT ada Bpk. Drs. Kristo Blasin, mantan Wakil Ketua DPRD NTT yang kini masih menjadi anggota DPRD NTT dari PDIP. Selain itu di jajaran Sekda Provinsi NTT, ada Bpk. Drs. Tarsisius yang telah lama berkarier sebagai birokrat. Masih di Kupang juga ada Bpk. Drs. Egenius Eli, pensiunan birokrat Pemprov NTT yang juga pernah menjadi dosen di APDN Kupang. Juga ada dua ibu yaitu: Maria Regina, pegiat LSM, sehari-hari bekerja di PKBI NTT dan Pilo Lajar, bertugas di Dinkes NTT.

Di Bali, ada dua pendidik yang juga merupakan pasangan suami istri, Bpk. Sero & Ibu Agus Jaja. Mereka sudah lama berkarir sebagai pendidik. Ada juga seorang pria dari Desa Hale yang berprofesi sebagai pelukis.

Di Semarang, ada Ibu Sintha, asal Desa Hale yang berkarir sebagai PNS. Karir ini mulai dirintis sejak masih tinggal di Maumere-Flores-NTT. Setelah menikah dengan pria Semarang maka Ibu Sintha pun pindah dan berkarir di Semarang-Jawa Tengah.

Di Kendari, ada Bpk. Petrus, sebagai kontraktor yang sukses. Di Papua, ada Bpk. Gode Ese yang juga menduduki posisi penting di Bappeda, Kab. Mapi, Papua.

Di Jakarta dan sekitarnya ada advokat senior yang fokus pada perjuangan HAM, Paskalis Pieter, SH, MH. Selain itu ada Bpk. Ans Gregory da Iry, wartawan senior yang kini menjadi konsultan PR di sebuah perusahaan MNC, Pak Walfred Andrew, jurnalis Metro TV. Juga, ada seorang wanita,  yang berprofesi sebagai Penulis di sebuah harian sore terbesar di Jakarta--Sinar Harapan yang concern terhadap Mapitara dan ingin mempromosikan potensi Mapitara kepada khalayak umum.

Di Serpong, Tangerang-Banten ada Pak Romanus Remigius, kini menjabat sebagai Kepala Sekolah SMP Katolik Tarsisius Vireta, Yayasan Bunda Hati Kudus-Tangerang yang merupakan sekolah Katolik favorit di kawasan Serpong-Tangerang.

Di Serang Banten, ada Bpk. M. Marsel da Iry, seorang pendidik senior di sekolah Katolik Mardi Yuana, Serang-Banten. Beliau pendidik sejati yang sudah lama mengabdi di lembaga pendidikan seperti SPG Baktiyarsa-Maumere, Flores-NTT. Beliau juga eks seminari (Exsim) dari sebuah seminari terkenal di Flores-NTT.

Hampir tidak ada warga Komunitas Mapitara ini berprofesi sebagai Satpam atau Sopir di daerah perantauan di Indonesia.

Yosef da Iry (Kiri)
Beberapa di antara anak muda, seperti Yosef Hermawan da Iry (Putra Pak Ans da Iry) saat ini sedang menyelesaikan S2 pada Universitas of New South Wales (UNSW), Australia. S1-nya, mengambil konsentrasi di IT dan diselesaikan di Australia juga. Setiap tahun Pak Ans dan keluarga berkunjung ke negeri Kanguru itu. Sementara di Indonesia, mereka pun sedang menempuh pendidikan di PTN terkemuka seperti di ITB (Putra Pak Walfred Andrew). Di Malang-Jawa Timur, ada Ignas Irdison Mo'an Jallo, kuliah di Fakultas Teknik jurusan Landscape (Putra Pak Irdo Jalo), Febronius Mo'at Dona, kuliah di Fakultas Peternakan (Putra dari Hendrikus Hemu). Di Kupang ada Aries Gege (Putra Policarpus Gege, Kades Hebing) yang mengambil S1 Teknik Komputer di Unwira. Sementara di Jakarta ada Asna, Engel, dan Peter yang kuliah sambil kerja di sebuah PTS. Serta masih banyak lagi anak muda yang kuliah di Maumere-Flores, dan daerah-daerah lainnya. Mereka butuh bimbingan dari seniornya.

Asal kecamatan dari Komunitas Mapitara ini adalah Kecamatan Mapitara sebuah kecamatan yang telah diresmikan sebagai sebuah kecamatan tanggal 29 Juni 2007 lalu. Kecamatan ini dihuni sedikitnya 6.617 orang warga, dan 1.276 kepala keluarga (KK), yang tersebar di empat desa. Yakni Desa Hale, Desa Hebing, Desa Nata Koli dan Desa Egon Gahar. Camatnya adalah: Drs. Humerus Andreas.

Kecamatan ini memiliki potensi yang luar biasa, baik pariwisata (wisata alam, wisata budaya) maupun ekonomi. Jika Pemerintah Daerah Sikka-Flores-NTT menaruh perhatian maka bisa menjadi daerah tujuan wisata pula dengan pesona Gunung Egon. Ketinggian Gunung Egon 1.703 meter (5.587 kaki) yang memiliki sumber belerang. Konon, kandungan belerang ini terbesar di dunia. Juga terdapat Hutan Wisata dengan spesifikasi hutan dan berbagai jenis satwa.

Di bawah kaki gunung Egon tepatnya dekat Baokrenget terdapat pemandian air panas dengan suhu 50'-80'C.

Di Desa Egon Gahar, tepatnya di Baokrenget merupakan daerah penghasil sayur-sayuran segar seperti wortel, sawi, kentang dan lain-lain yang mampu men-suplai kebutuhan masyarakat di Kabupaten Sikka-Flores-NTT. Selain itu, juga merupakan desa penghasil kopi, kelapa, kakao, cengkeh, kemiri, kelapa. Namun sayang, akses menuju ke wilayah ini masih sulit.

Di Desa Natakoli merupakan desa penghasil komoditi perdagangan kelapa, jambu mente, kakao, kemiri, dan lain-lain. Di desa ini juga terdapat Tebing Alam Magemot dengan spesifikasi: tebing curam pada pinggir pantai yang letaknya berbatasan dengan wilayah Kecamatan Doreng.

Sementara di desa Hale dan Desa Hebing, dua desa ini merupakan penghasil komoditi seperti kakao, kemiri, kelapa, jambu menteh, dan lain-lain.

Di kampung Glak, kampung paling ujung Desa Hale, menurut informasi, di lokasi tersebut, perut buminya mengandung emas. Pemerintah setempat perlu bertindak lebih lanjut untuk memastikan kandungan tersebut.

Dari potensi yang dimiliki desa-desa tersebut, kini yang perlu mendapat perhatian serius Pemerintah Daerah Sikka-Flores adalah: Jalan, Komunikasi dan Informasi.

Akses menuju pusat kota bagi warga kecamatan Mapitara, melalui jalan darat bisa dilalui dari empat arah. Arah menuju Bola-Maumere, arah menuju Habibola-Ohe- Maumere. Arah menuju Lere-Baokrenget--Waigete-Maumere. Arah menuju Glak-Pruda-Maumere.

Sementara melalui jalur laut, dapat ditempuh dengan menggunakan motorboat dari arah Hale- Hebing menuju Bola. Melalui jalur laut ini kita akan menikmati keindahan tebing alam Magemot dan pantai pasir putih di Kecamatan Doreng. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 2,5 jam baik darat maupun laut.

Sementara jalan menuju Kecamatan Mapitara dari arah Waigete-Blidit-Lere-Hale-Hebing serta Bola-Hale Hebing pun kini sedang dalam pengerjaan pengerasan dan selanjutnya akan diaspal.

Saat ini Pemda Sikka memang sedang serius membangun Mapitara dalam sektor informasi, dan jalan raya yang merupakan akses penting untuk transportasi.
Selain itu Pemerintah juga sedang meninjau lokasi yang tepat untuk pembangunan gardu listrik guna menyuplai kebutuhan listrik di empat desa tersebut. Semoga keterisolasian ini segera berakhir dan Mapitara pun maju dan sejajar dengan kecamatan lainnya!

Bila Anda sengaja menuju lokasi-lokasi di Kecamatan Mapitara dengan berjalan kaki (waktu tempuh kurang lebih 4-5 jam) dari arah Waigete--Blidit- Mapitara atau Bola-Mapitara, maka Anda akan melewati hutan-hutan yang masih perawan dan dialiri sungai-sungai yang masih jernih seperti Waira'at, Wair Ga'hu (Air Panas), Napungete, dan masih banyak sungai-sungai lainnya. Konon, jika melintasi Wair Ga'hu, sebaiknya pantang untuk menyebut ikan dan sejenisnya yang berasal dari laut. Karena, diyakini bisa saja dengan tiba-tiba hujan, petir, akan datang.

Semoga Komunitas Mapitara ini tumbuh, berkembang, dan terus memberi makna bagi sesamanya, di mana saja warga Mapitara tinggal. UHE DIEN DAN HADING[*]

Rabu, 19 Oktober 2011

38 Anak Mapitara-Sikka Kurang Gizi

POS KUPANG.COM, MAUMERE --- Sebanyak 38 anak mengalami kekurangan gizi dan 3 anak mengalami gizi buruk di Desa Natakoli, Kecamatan Mapitara, Kabupaten Sikka.

Kekurangan gizi tersebut karena masih rendahnya pemahaman kaum ibu guna memberikan pendampingan kepada anak dan memberikan makanan tambahan dari pangan lokal yang ada di desa tersebut.

Terkait itu, Tim Pelaksana Kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (TPK-PNPM) Desa Natakoli menggelar pelatihan kader posyandu bagi 13 kadernya sejak tanggal 18 Oktober-21 Oktober 2011 mendatang di Aula Kantor Desa Natakoli.

Demikian penjelasan Ketua TPK-PNPM Natakoli, Herbanus Nong Lado, dalam pers release kepada Pos Kupang, Rabu (19/10/2011) siang di Kota Maumere.
http://kupang.tribunnews.com/read/artikel/71847

Senin, 03 Oktober 2011

Nu'a Inan dan Hola Aman

Engel & Asna
Kalau orang Jawa menyapa Mas dan Mba, sapaan bagi pria wanita yang masih lajang dan gadis. Sementara suku Sikka di Flores-NTT menyapa dengan sapaan khas Nong dan Nona. Berbeda dengan orang Mapitara. Mereka punya sapaan khas untuk wanita, Nu'a Inan dan untuk pria dengan sapaan Hola Aman.

Nu'a Inan merupakan sapaan khas bagi kaum perempuan yang masih gadis dan Hola Aman merupakan sapaan khas bagi kaum pria yang masih lajang.

Sapaan khas itu juga merupakan petunjuk bagi kami, karena saat diucapkan dan kami dari komunitas ini mendengarnya, maka kami akan dengan segera mengetahui bahwa yang disapa itu berasal dari Mapitara. Dibandingkan dengan sapaan Nong dan Nona yang sudah umum di Sikka maupun di pulau lainnya seperti di Ambon, sehingga agak sulit bagi kita untuk langsung mengidentifikasi darimana asal suku pria dan wanita itu berasal.

Angelo Fernandez Bano (Engel) & Asnawaty Tere (Asna) adalah Hola Aman dan Nu'a Inan. Dua anak muda ini sedang duduk di bangku kuliah, menuntut ilmu. Mereka bekerja sambil kuliah. Permulaan yang baik untuk meraih masa depan lebih baik dan sukses. Selamat dan sukses Hola Aman dan Nu'a Inan!

Minggu, 02 Oktober 2011

Sekilas Pater Hubert Hasulie, SVD

P.Hubert Hasulie, SVD
Bapa Uskup Denpasar pada awal Januari 2008 lalu memberikan sedikit ”jokes” untuk Pater Hubert Hasulie, SVD. Bapa Uskup mengatakan bahwa Pater Hubert telah banyak berubah menjadi lebih santun dari sejak pertama kali Bapa Uskup mengenalnya. Telah bertransformasi... istilah Bapa Uskup.

Kebetulan Bapa Uskup dan Pater Hubert ini pernah tinggal di satu biara SVD yang sama saat mengenyam pendidikan pada universitas yang berbeda di Amerika Serikat. Dan yaa... Pater Hubert ini sangat ramah lho... Walau penampilannya terlihat sangat galak dan serius, tapi ternyata Pater Hubert senang sekali berkelakar.

Pater Hubert, menurut Pater Aurelius Pati Soge (Kakak kelas Pater Hubert sejak di Seminari San Dominggo Hokeng), juga merupakan lokomotip yang tidak pernah berhenti mengepul.

Nama lengkap Pater ini adalah Pater Hubert Thomas Hasulie, SVD. Lahir di Maumere – Flores (NTT) pada 8 Agustus 1962. Lulusan Seminari Tinggi milik SVD Ledalero – Maumere (NTT) dan Chatolic University of America, Washington DC – USA ini, sekarang berdomisili dan mempunyai tugas pelayanan sebagai staf penelitian di Pusat Penelitian Agama dan Kebudayaan Chandraditya, Maumere – Flores (NTT). Pater Hubert adalah Inspiring Man, bagi generasi muda Mapitara.

Pater ini berasal dari Lere, Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara dan merupakan pria blasteran Lere & Sikka.