Minggu, 13 November 2011

RETOUR ‘A LA NATURE: Mengembalikan Identitas Umat Beragama, Membangun Kerukunan

nttonlinenews.com
Saturday, 09 April 2011 09:08 Oleh Stef Sumandi

Keyakinan akan adanya Allah  bagi manusia pada awalnya terjadi secara alamiah. Orang sadar akan realita keterbatasan dunia ini dan pasti ada sesuatu yang mengatasi segalanya. Sesuatu itu adalah Allah. Allah yang menciptakan, dan mengatasi segalanya. Cipataan berkewajiban menaruh hormat kepada Allah penciptanya dengan berbagai cara masing-masing.
Dari sanalah lahir agama-agama tradisional. Sedangkan agama wahyu datang kemudian ketika Allah mewahyukan diri sendiri melalui sabdaNya dan menunjukkan kepada manusia bahwa Dia ada.

Keberadaan agama wahyu dan agama tradisional tidak bertentangan melainkan saling melengkapi. Karenanya misiolog moderen Karl Raner menyebut keberadaan agama-agama tradisional sebagai persiapan pewartaan iman bagi agama-agama wahyu. Menurut Karl Raner, tidak mungkin orang mengimani Allah dalam agama wahyu jika orang belum memiliki konsep dasar tentang Allah sebelumnya.

Dalam agama-agama tradisional Orang NTT misalnya meyakini adanya wujud tertinggi dengan memberi nama sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing. Orang Sikka menyapa dengan “Ina Niang Tana Wawa, Ama Lero Wulan Reta”. Suku bangsa Lamaholot/Flores Timur-Lembata menyapa dengan “Lera Wulan Tana Ekan”. Orang Ende menyapa “Duang Gae”. Orang Ngada menyapa “Gae Dewa”. Orang Manggarai menyapa “Mori Kraeng”. Orang Timor menyapa “Uis Neno”. Orang Sumba menyapa “Marapu” dan lain sebagainya sesuai dengan kekhasan wilayah masing-masing baik di NTT maupun wilayah lain di Indonesia. Uniknya, penganut agama-agama tradisional ini, hidup aman dan damai. Mereka saling berdampingan tanpa ada kerusuhan atas nama agama maupun atas nama Tuhan. Hal ini berbanding terbalik dengan sebagian umat beragama dewasa ini.

Realita perkelahian antar umat beragama (baca: penganut agama wahyu) dewasa ini sesungguh nyata. Menurut penulis, hal ini disebabkan oleh kekurangpemahaman tentang agama berikut politik kekuasaan. Realita kekurangpemahaman terhadap agama lain melahirkan sikap fanatik berlebihan yang berlanjut pada diskriminasi. Gejala fanatik berlebihan itu muncul melalui pandangan yang menganggap seolah agamanya lebih unggul dari agama lain sambil menjelekkan agama lain. Akibatnya, orang berusaha untuk melenyapkan agama lain dengan memburu atau menindas umat beragama lain. Padahal, sesungguhya kita berbeda agama tetapi kita hanya punya satu Allah.

Kemudian kenyataan politik kekuasaan sebenarnya lahir dari fanatisme umat beragama yang ingin hanya agamanya yang berkuasa di suatu wilayah. Mereka menilai agama lain menurut agamanya sehingga tidak bertemu paham. Akibatnya orang sering melakukan keributan atas nama agama. Tujuan sesungguhnya ialah agar agama lain tidak boleh berkembang.

Berhadapan dengan kondisi tersebut di atas, Filsuf  Jean Jaques Rouseau mengajak kita agar “Retour ‘A La Nature”. Back to Nature, Back to basic". Kembali ke alam, kembali ke dasar. Ajakan Retour ‘A La Nature  oleh filsuf Prancis ini bila dikaji lebih dalam maka akan ditemukan beberapa makna berikut:

Pertama: kembali ke diri sendiri. Manusia pada awal adanya telah terpatri nilai-nilai kehidupan yang tertanam dalam hati nurani. Bagi umat manusia yang percaya kepada kisah penciptaan memahami bahwa waktu Allah menciptakan manusia, Allah menhembuskan nafas hidup (Ibrani: Nafesy haya) ke dalam hidungnya. Nafas hidup  yang dimaksud ialah nilai-nilai kehidupan yakni cinta kasih, kebenaran, kebijaksanaan, kebaikan, kasih sayang dan lain-lain. Tetapi, mengapa manusia sering berkelahi? Sebenarnya manusia yang berkelahi itu adalah orang-orang yang belum mengenal diri atau bahkan telah meninggalkan dirinya. Orang-orang yang telah keluar dan sudah jauh dari dirinya sendiri. Jika seseorang sudah jauh dari jati dirinya maka orang itu mudah dipengaruhi bahkan mudah sekali untuk diprofokasi. Dalam kondisi ini, tugas umat beragama ialah kembali mengenali diri secara sungguh sebagai makhluk yang memiliki berbagai kehidupan.

Kedua: kembali ke ajaran agama masing-masing. Sesungguhnya tidak ada satu agamapun di dunia ini yang mengajarkan kejahatan. Secara alamiah agama dibentuk oleh umat manusia untuk keselamatan, kebahagiaan bersama. Bonum comunae. Lalu mengapa orang beragama sering berbuat jahat? Orang yang berbuat jahat itu belum memahami gamanya secara sungguh-sungguh. Kejahatan itu muncul dari dalam diri orang yang telah jauh dari ajaran agamanya. Orang-orang ini memiliki agama hanya label. Nilai-nilai dari ajaran agamanya telah ditinggalkan sehingga ia mudah diprovokasi bahkan mudah sekali berbuat jahat. Untuk meminimalisir kejahatan itu hanya dapat dilakukan dengan kembali mengikuti ajaran agamanya dan melaksanakannya dengan bijaksana.  

Ketiga: Kembali kepada alam. Pada hakekatnya keadaan alam semesta itu sempurna. Tetapi belakangan ini sering diresahkan oleh berbagai bencana alam dan kekacauan lingkungan hampir terjadi di seluruh antero dunia. Keadaan ini sesugguhnya menunjukkan alam  kita tengah berangsur rusak. Di Indonesia kerusakan alam semesta dan kekecauan terjadi dimana-mana. Padahal manusia Indonesia adalah umat beragama yang ajaran agamanya mengehendaki keselarasan alam. Umat manusia menafsirkan makna kekuasaannya pada alam dengan merusak atau mengeksploitasi seturut kehendaknya. Meskipun dalam ajaran agamanya mewajibkan manusia memelihara, menjaga dan merawat alam semesta namun keadaannya berbanding terbalik. Olehnya jika ingin agar jauh dari bencana, jauh dari kerusakan alam maka segeralah kembali menjaga, merawat dan melstarikan alam semesta.

Keempat: kembali kepada Allah. Sebagai umat beragama sesungguhnya sangat dekat dengan Allah. Kedekatan manusia dengan Allah melahirkan iman yang teguh. Ungkapan iman umat beragama itu dengan melakukan kehendak Allah. Pada hakekatnya, Allah yang kita yakini itu menghendaki agar manusia dapat hidup bahagia dan sejahtera secara lahir maupun batin. Allah tidak menghendaki umat manusia berbuat jahat kepada yang lain. Berkaitan dengan itu, Allah yang dianut umat beragama itu adalah Allah yang Maha Esa, Maha Sempurna, Maha Bijaksana, Maha baik dan satatus kemahaan lainnya. Dalam satatus kemahaannya itu, Allah tidak membutuhkan manusia untuk membela Dia. Allah bukan terbatas seperti manusia sehingga harus dibela. Allah hanya mengehendaki manusia untuk beriman dan bertakwa kepadaNya agar bahagia, sejahtera di dunia serta selamat di akhirat. 

Umat beragama seolah disadarkan lagi oleh Jean Jaques Rouseau agar kembali ke identitas diri yang sebenarnya. Umat beragama perlu diajak untuk kembali lantaran telah meninggalkan jati dirinya sebagai umat beragama. Kenyataannya bahwa kerusuhan terjadi sebagai akibat dari fanatisme yang berlebihan lalu mengabaikan kerukunan. Karena tidak mungkin kerukunan itu dapat terjadi pada orang yang tidak mengenal diri. Kerukunan tidak mungkin terjadi pada orang yang tidak memahami ajaran agamanya kemudian bersikap eksklusif terhadap ajaran agama lain. Kerukunan tidak mungkin terwujud kalau orang masih ingin merusak alam dan lingkungannya. Kerukunan tidak terjadi pada orang yang tidak beriman sungguh kepada Allah. Kerukunan dapat terjadi jika kita telah mengembalikan identitas diri kita sebagai umat beragama. ****
Penulis adalah aktivis Pendidikan, warga desa Natakoli Kecamatan Mapitara Kabupaten Sikka, NTT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar