Senin, 10 Februari 2020

Perempuan Pembawa Damai Dalam Perang Suku di Papua


PEREMPUAN PEMBAWA DAMAI DALAM
 PERANG SUKU DI PAPUA

(Sebuah ceritera fiksi oleh: Ans Gregory da Iry)

Masyarakat suku-suku asli di Papua sering terlibat dalam perang suku. Pemicu perang suku bisa macam-macam. Dari berkelahi karena mabuk minuman beralkohol, pelanggaran wilayah buruan, penculikan perempuan, zinah, sampai kepada hal-hal yang berkaitan dengan masalah ekonomi, sosial bahkan politik.

Enos Waker dan Ananias Magal (bukan nama sebenarnya) adalah dua pria bersahabat, meski mereka berbeda suku. Enos dari suku Dani dan Ananias dari suku Amungme. Dua suku ini beserta 5 suku lainnya yaitu Damal, Nduga, Ekari/Me dan Kamoro adalah penduduk asli yang tinggal di dan sekitar daerah operasi perusahaan tambang Freeport Indonesia. Dulu Freeport adalah perusahaan asing milik Amerika (1967-2018), tetapi kini sudah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) setelah mayoritas sahamnya dibeli dan dikuasai oleh perusahaan nasional PT Inalum pada penghujung 2018.

Enos dan Ananias bersahabat sejak mereka dikirim belajar di kota Semarang, Jawa Tengah. Mereka adalah anak-anak Papua berbakat yang dipilih dan dikirim pemerintah daerah untuk belajar di Semarang. Di ibu kota propinsi Jawa Tengah itu, mereka ditampung di asrama yang dikelola oleh sebuah yayasan katolik. Setelah tamat SMA, mereka kuliah di Universitas Soegiyapranoto. Lulus kuliah, lalu  mereka direkrut untuk bekerja di Freeport. Sejak 1996, setelah terjadi kerusuhan di Tembagapura dan Timika pada hari Minggu dan Senin, 11 dan 12 Maret, Freeport dengan sangat serius menjalankan kebijakan Indonesianisasi dan Papuanisasi angkatan kerjanya dengan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada lebih banyak orang Papua bekerja di perusahaan ini. Maka ratusan pemuda-pemudi terpelajar Papua dari berbagai tempat dan kota di Indonesia bahkan di luar negeri, telah direkrut untuk kembali ke Papua dan bekerja di Freeport. Di antara mereka adalah Enos  dan  Ananias. Enos bekerja di tambang terbuka Grasberg, Ananias di Pengembangan Masyarakat (Community Development) Freeport.

Meski berbeda suku dan berbeda bidang pekerjaan, mereka  tetap bersahabat. Apalagi isteri-isteri mereka juga berasal dari Semarang. Kedua perempuan ini  sudah bersahabat sejak remaja. Dan kebetulan pula mereka berjodoh dengan kedua pemuda Papua yang juga berteman akrab.

Perang Suku

Pada suatu hari terjadi perkelahian antara dua pemuda dari dua suku berbeda itu, yaitu Dani dan Amungme. Mereka minum-minum sampai mabuk di sebuah tempat karaoke di kota Timika. Lalu terjadi perkelahian. Peristiwa tersebut memicu bentrokan antara dua kelompok dari kedua suku. Bahkan kasus ini cepat sekali bereskalasi menjadi perang suku antara Dani lawan Amungme. 

Menurut adat dan kebiasaan masyarakat asli suku-suku ini, semua anggota suku harus mendukung dan membela orang sesukunya. Tidak peduli, apakah si pelaku itu bersalah atau tidak, yang penting harus ‘main suku’, membela orang sesuku demi solidaritas dan glorifikasi suku.

Enos dan Ananias kemudian didaulat oleh sukunya masing-masing untuk menjadi kepala perang. Enos memimpin pasukan perang suku Dani dan Ananias mengepalai suku Amungme. Kepala perang adalah suatu jabatan yang bergengsi di mata suku. Dia memimpin dan mengatur strategi dan taktik  dalam mengerahkan pasukan dari sukunya untuk  bertempur dengan suku lawan. Pada mulanya Enos dan Ananias enggan untuk memimpin perang. Tetapi karena desakan tua-tua adat, mereka akhirnya menerima tugas itu sebagai suatu kehormatan dan tanggung jawab kepada masyarakat dan juga adat budaya suku.
                                                    ***
Dalam perang suku, senjata yang digunakan adalah busur dan anak panah, tombak, parang dan juga batu. Beberapa kali terjadi pertempuran di desa Banti/Waa di dekat Tembagapura di daerah pegunungan. Juga di desa Kwamki Lama di dataran rendah Timika. Korban mulai berjatuhan, beberapa orang terkena lemparan batu atau tertembus anak panah. Mereka dirawat di rumah di Banti/Waa dan juga di Rumah Sakit Mitra Masyarakat, Timika.

Karena terlibat perang suku, Enos dan Ananias mengungsikan isteri dan anak-anak mereka ke Semarang. Ketika kedua ibu itu  bertemu di Bandara Intenasional Mozes Kilangin, mereka bersalaman dan bercipika-cipiki seperti dua sahabat lama. Secara pribadi  mereka  merasa tidak terlibat dalam perang suku, karena itu adalah urusan suami dan suku. Di bandara itu pula Enos dan Ananias bertemu. Mereka pun bersalaman mesra seperti dua sahabat lama dan sama sekali tidak menunjukkan rasa permusuhan.

Di dalam pesawat Airfast siang itu, kedua ibu duduk berdampingan. Salah satu topik yang mereka perbincangkan adalah mengenai perang suku yang melibatkan suami-suami mereka.

“Kalau suami sampai tewas dalam perang, bagaimana nasib kita dan anak-anak?” kata Bu Enos mengawali pembicaraan. 

 “Ya, itulah yang jadi pemikiran saya. Tetapi saya tidak berani bicara kepada suami,” jawab Bu Ananias.

Setelah berbincang-bincang lama mengenai suka dua kehidupan mereka sebagai perempuan Jawa yang bersuamikan pria Papua, mereka sepakat untuk mempengaruhi suami  agar menghentikan perang suku. Mereka akan bicara baik-baik kepada suami, dan kalau tidak ditanggapi positif, mereka mengancam tidak mau kembali ke Timika. Mereka akan tetap tinggal dengan anak-anak di Semarang yang aman daripada di Timika yang dilanda perang. Mereka merasa bahwa nasib mereka bisa terancam oleh lawan, karena mereka adalah isteri dan anak-anak dari kepala perang.

Pada waktu transit di Makassar kedua wanita ini menelepon suami mereka dan mengabarkan bahwa mereka sudah sampai di Makassar dengan aman. Mereka juga berceritera kalau di pesawat mereka sudah berbicara banyak mengenai suka duka kehidupan keluarga dan juga mengenai perang suku. 

“Kami minta agar perang suku segera diakhiri. Kalau tidak, kami dan anak-anak tidak akan kembali ke Timika”, kata Bu Enos kepada suaminya. Pesan serupa pula disampaikan bu Ananias kepada suaminya. “Kami tidak mau lagi ada perang suku. Sudah banyak korban sia-sia. Kasihan masyarakat kita,” kata Bu Ananias dengan terhisak lewat telepon genggam kepada suaminya.

                                                                ***
Kedua kepala perang itu terdiam dan merenung akan kata-kata  isteri. Dan mereka membenarkan apa yang dikatakan itu. Sebagai pria, mereka harus berperang membela kehormatan dan nama baik suku. Tetapi sebagai suami dan ayah sejati, mereka juga punya kewajiban dan tanggung jawab atas masa depan keluarga dan anak-anak.
 “Tanggung jawab kepada suku tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan tanggung jawab kepada keluarga,” kata Enos dan Ananias waktu keduanya berbicara lewat telepon genggam.

Maka sejak  itu  mereka berusaha  mengakhiri perang dan berdamai, lewat perundingan-perundingan. Sesuai peraturan adat, perdamaian itu harus ditandai dengan upacara Bakar Batu dan Makan Bersama. Bakar batu adalah suatu ritual adat masyarakat asli Papua untuk merayakan suatu peristiwa penting, seperti pesta adat, termasuk berakhirnya perang suku. Puluhan babi dibunuh dan dagingnya dimasak bersama ubi-ubian, daun keladi, pakis dan lain-lain dengan  batu panas.Sementara menunggu masakan ini matang, mereka menyanyi dan menari. Setelah matang, makanan ini dibagi-bagikan kepada semua orang yang hadir untuk dimakan bersama sebagai tanda  perdamaian dan berakhirnya perang suku.

Sebagai kepala perang, Enos dan Ananias masing-masing berbicara di hadapan massa sukunya bahwa perang sudah berakhir. Waktu berbicara di depan massa itulah, baik Enos maupun Ananias mengungkapkan bahwa isteri-isteri merekalah yang telah mendorong agar perang diakhiri.

“Sekarang perang sudah berakhir, mari kita hidup berdampingan dengan damai dan rukun”, kata Ananias. Dan isterinya yang berdiri di sampingnya menambahkan “Tidak boleh lagi ada perang suku. Kita harus berdamai dan hidup rukun dengan sesama walaupun berbeda suku” kata bu Enos.

Pada saat yang hampir bersamaan, di lokasi yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari tempat itu,  Ananias  menyampaikan pesan kepada masyarakat sukunya untuk berdamai. Ia juga berterima kasih kepada isterinya yang telah mendorong dan meyakinkannya untuk menghentikan perang. Dan bu Ananias dengan logat Jawa yang kental berteriak, “Perang sudah berakhir, mari kita pulang dengan membawa damai kepada sesama. Amole..!” Massa rakyat menyahut: “Amolongo!” 

@Amole = selamat, dalam bahasa Amungme dan umumnya dimengerti oleh masyarakat dari suku-suku yang tinggal di sekitar daerah operasi Freeport.
 Amolongo – adalah jawaban terhadap ucapan Amole, jadi kira-kira artinya: sama-sama, baik atau terima kasih!