PEREMPUAN PEMBAWA DAMAI DALAM
PERANG SUKU DI PAPUA
(Sebuah ceritera fiksi oleh: Ans
Gregory da Iry)
Masyarakat
suku-suku asli di Papua sering terlibat dalam perang suku. Pemicu perang suku
bisa macam-macam. Dari berkelahi karena mabuk minuman beralkohol, pelanggaran
wilayah buruan, penculikan perempuan, zinah, sampai kepada hal-hal yang
berkaitan dengan masalah ekonomi, sosial bahkan politik.
Enos
Waker dan Ananias Magal (bukan nama sebenarnya) adalah dua pria bersahabat,
meski mereka berbeda suku. Enos dari suku Dani dan Ananias dari suku Amungme.
Dua suku ini beserta 5 suku lainnya yaitu Damal, Nduga, Ekari/Me dan Kamoro
adalah penduduk asli yang tinggal di dan sekitar daerah operasi perusahaan
tambang Freeport Indonesia. Dulu Freeport adalah perusahaan asing milik Amerika
(1967-2018), tetapi kini sudah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) setelah
mayoritas sahamnya dibeli dan dikuasai oleh perusahaan nasional PT Inalum pada
penghujung 2018.
Enos
dan Ananias bersahabat sejak mereka dikirim belajar di kota Semarang, Jawa
Tengah. Mereka adalah anak-anak Papua berbakat yang dipilih dan dikirim
pemerintah daerah untuk belajar di Semarang. Di ibu kota propinsi Jawa Tengah
itu, mereka ditampung di asrama yang dikelola oleh sebuah yayasan katolik.
Setelah tamat SMA, mereka kuliah di Universitas Soegiyapranoto. Lulus kuliah,
lalu mereka direkrut untuk bekerja di
Freeport. Sejak 1996, setelah terjadi kerusuhan di Tembagapura dan Timika pada
hari Minggu dan Senin, 11 dan 12 Maret, Freeport dengan sangat serius menjalankan
kebijakan Indonesianisasi dan Papuanisasi angkatan kerjanya dengan memberi
kesempatan seluas-luasnya kepada lebih banyak orang Papua bekerja di perusahaan
ini. Maka ratusan pemuda-pemudi terpelajar Papua dari berbagai tempat dan kota
di Indonesia bahkan di luar negeri, telah direkrut untuk kembali ke Papua dan
bekerja di Freeport. Di antara mereka adalah Enos dan
Ananias. Enos bekerja di tambang terbuka Grasberg, Ananias di
Pengembangan Masyarakat (Community Development) Freeport.
Meski
berbeda suku dan berbeda bidang pekerjaan, mereka tetap bersahabat. Apalagi isteri-isteri
mereka juga berasal dari Semarang. Kedua perempuan ini sudah bersahabat sejak remaja. Dan kebetulan
pula mereka berjodoh dengan kedua pemuda Papua yang juga berteman akrab.
Perang Suku
Pada
suatu hari terjadi perkelahian antara dua pemuda dari dua suku berbeda itu,
yaitu Dani dan Amungme. Mereka minum-minum sampai mabuk di sebuah tempat
karaoke di kota Timika. Lalu terjadi perkelahian. Peristiwa tersebut memicu
bentrokan antara dua kelompok dari kedua suku. Bahkan kasus ini cepat sekali
bereskalasi menjadi perang suku antara Dani lawan Amungme.
Menurut
adat dan kebiasaan masyarakat asli suku-suku ini, semua anggota suku harus
mendukung dan membela orang sesukunya. Tidak peduli, apakah si pelaku itu
bersalah atau tidak, yang penting harus ‘main suku’, membela orang sesuku demi
solidaritas dan glorifikasi suku.
Enos
dan Ananias kemudian didaulat oleh sukunya masing-masing untuk menjadi kepala
perang. Enos memimpin pasukan perang suku Dani dan Ananias mengepalai suku
Amungme. Kepala perang adalah suatu jabatan yang bergengsi di mata suku. Dia
memimpin dan mengatur strategi dan taktik
dalam mengerahkan pasukan dari sukunya untuk bertempur dengan suku lawan. Pada mulanya
Enos dan Ananias enggan untuk memimpin perang. Tetapi karena desakan tua-tua
adat, mereka akhirnya menerima tugas itu sebagai suatu kehormatan dan tanggung
jawab kepada masyarakat dan juga adat budaya suku.
***
Dalam
perang suku, senjata yang digunakan adalah busur dan anak panah, tombak, parang
dan juga batu. Beberapa kali terjadi pertempuran di desa Banti/Waa di dekat
Tembagapura di daerah pegunungan. Juga di desa Kwamki Lama di dataran rendah
Timika. Korban mulai berjatuhan, beberapa orang terkena lemparan batu atau
tertembus anak panah. Mereka dirawat di rumah di Banti/Waa dan juga di Rumah
Sakit Mitra Masyarakat, Timika.
Karena
terlibat perang suku, Enos dan Ananias mengungsikan isteri dan anak-anak mereka
ke Semarang. Ketika kedua ibu itu
bertemu di Bandara Intenasional Mozes Kilangin, mereka bersalaman dan
bercipika-cipiki seperti dua sahabat lama. Secara pribadi mereka
merasa tidak terlibat dalam perang suku, karena itu adalah urusan suami
dan suku. Di bandara itu pula Enos dan Ananias bertemu. Mereka pun bersalaman
mesra seperti dua sahabat lama dan sama sekali tidak menunjukkan rasa
permusuhan.
Di
dalam pesawat Airfast siang itu, kedua ibu duduk berdampingan. Salah satu topik
yang mereka perbincangkan adalah mengenai perang suku yang melibatkan
suami-suami mereka.
“Kalau
suami sampai tewas dalam perang, bagaimana nasib kita dan anak-anak?” kata Bu
Enos mengawali pembicaraan.
“Ya, itulah yang jadi pemikiran saya. Tetapi
saya tidak berani bicara kepada suami,” jawab Bu Ananias.
Setelah
berbincang-bincang lama mengenai suka dua kehidupan mereka sebagai perempuan
Jawa yang bersuamikan pria Papua, mereka sepakat untuk mempengaruhi suami agar menghentikan perang suku. Mereka akan
bicara baik-baik kepada suami, dan kalau tidak ditanggapi positif, mereka
mengancam tidak mau kembali ke Timika. Mereka akan tetap tinggal dengan
anak-anak di Semarang yang aman daripada di Timika yang dilanda perang. Mereka
merasa bahwa nasib mereka bisa terancam oleh lawan, karena mereka adalah isteri
dan anak-anak dari kepala perang.
Pada
waktu transit di Makassar kedua wanita ini menelepon suami mereka dan
mengabarkan bahwa mereka sudah sampai di Makassar dengan aman. Mereka juga
berceritera kalau di pesawat mereka sudah berbicara banyak mengenai suka duka
kehidupan keluarga dan juga mengenai perang suku.
“Kami
minta agar perang suku segera diakhiri. Kalau tidak, kami dan anak-anak tidak
akan kembali ke Timika”, kata Bu Enos kepada suaminya. Pesan serupa pula
disampaikan bu Ananias kepada suaminya. “Kami tidak mau lagi ada perang suku.
Sudah banyak korban sia-sia. Kasihan masyarakat kita,” kata Bu Ananias dengan
terhisak lewat telepon genggam kepada suaminya.
***
Kedua
kepala perang itu terdiam dan merenung akan kata-kata isteri. Dan mereka membenarkan apa yang
dikatakan itu. Sebagai pria, mereka harus berperang membela kehormatan dan nama
baik suku. Tetapi sebagai suami dan ayah sejati, mereka juga punya kewajiban
dan tanggung jawab atas masa depan keluarga dan anak-anak.
“Tanggung jawab kepada suku tidak boleh
mengurangi, apalagi meniadakan tanggung jawab kepada keluarga,” kata Enos dan
Ananias waktu keduanya berbicara lewat telepon genggam.
Maka
sejak itu mereka berusaha mengakhiri perang dan berdamai, lewat
perundingan-perundingan. Sesuai peraturan adat, perdamaian itu harus ditandai
dengan upacara Bakar Batu dan Makan Bersama. Bakar batu adalah suatu ritual
adat masyarakat asli Papua untuk merayakan suatu peristiwa penting, seperti
pesta adat, termasuk berakhirnya perang suku. Puluhan babi dibunuh dan
dagingnya dimasak bersama ubi-ubian, daun keladi, pakis dan lain-lain
dengan batu panas.Sementara menunggu
masakan ini matang, mereka menyanyi dan menari. Setelah matang, makanan ini
dibagi-bagikan kepada semua orang yang hadir untuk dimakan bersama sebagai
tanda perdamaian dan berakhirnya perang
suku.
Sebagai
kepala perang, Enos dan Ananias masing-masing berbicara di hadapan massa
sukunya bahwa perang sudah berakhir. Waktu berbicara di depan massa itulah,
baik Enos maupun Ananias mengungkapkan bahwa isteri-isteri merekalah yang telah
mendorong agar perang diakhiri.
“Sekarang
perang sudah berakhir, mari kita hidup berdampingan dengan damai dan rukun”,
kata Ananias. Dan isterinya yang berdiri di sampingnya menambahkan “Tidak boleh
lagi ada perang suku. Kita harus berdamai dan hidup rukun dengan sesama
walaupun berbeda suku” kata bu Enos.
Pada
saat yang hampir bersamaan, di lokasi yang hanya berjarak sekitar 200 meter
dari tempat itu, Ananias menyampaikan pesan kepada masyarakat sukunya
untuk berdamai. Ia juga berterima kasih kepada isterinya yang telah mendorong
dan meyakinkannya untuk menghentikan perang. Dan bu Ananias dengan logat Jawa
yang kental berteriak, “Perang sudah berakhir, mari kita pulang dengan membawa
damai kepada sesama. Amole..!” Massa rakyat menyahut: “Amolongo!”
@Amole = selamat, dalam bahasa Amungme
dan umumnya dimengerti oleh masyarakat dari suku-suku yang tinggal di sekitar
daerah operasi Freeport.
Amolongo
– adalah jawaban terhadap ucapan Amole, jadi kira-kira artinya: sama-sama,
baik atau terima kasih!