Mungkin karena bersaudara itulah maka orang Bora, Hokor dan Wukur di barat dan orang Mapitara di timur mempunyai tradisi ATA KEAN. Kalau datang di kampung orang Hokor, orang Mapitara BOLEH mengambil barang milik mereka tanpa khawatir akan dimarahi atau dipukul. Selain boleh memetik ubi, singkong, pisang, kelapa,mereka juga boleh menangkap ayam dan mengambil telornya.
Demikian juga sebaliknya orang Bora, Hokor dan Wukur boleh melakukan hal serupa kalau mereka datang di kampung-kampung orang Mapitara.
Ketika masih kecil di tahun 1960-an, saya dan ayah atau kakak-kakak biasa bepergian dari Hale ke Lela melalui Bola, Bora-Hokor, Wukur, terus Sikka. Kami berjalan kaki selama dua hari, dengan bermalam di Bola, yang terletak di pertengahan antara Mapitara dengan Lela. Semua daerah ini terletak di pantai selatan Pulau Flores.
Pada hari pertama kami membawa bekal ketupat untuk dimakan di jalan. Malam harinya kami bermalam di salah satu rumah orang Bola. Mereka selalu menerima kami dengan baik, memberi kami tempat untuk bermalam bahkan menyuguhi makanan dan minuman. Keesokan paginya kami meneruskan perjalanan menuju Lela, dengan siang harinya singgah di kampung Hokor untuk istirahat. Untuk makan siang kami memetik pisang atau ubi (disebut: ohu, hura) atau singkong, dan membakar di situ untuk dimakan. Untuk minum, kami memetik kelapa muda.
Kami melakukannya tanpa merasa takut atau malu, karena memang itu sudah merupakan adat atau tradisi. Bahkan sering kali yang empunya barang, setelah tahu kami ini Ata Kean,mereka datang dan ikut bercakap-cakap dengan kami. Sebagai seseorang yang sering bepergian hampir ke seluruh wilayah kabupaten Sikka, ayah saya rupanya cukup dikenal di daerah itu.
Pernah kakak-kakak saya menangkap 2 ekor ayam di Wukur untuk dibawa ke Lela Sambil mengejar ayah, mereka berkata "Ami Ata Kean", dan yang empunya tidak akan marah, paling-paling kaget dan mengomel. Tetapi setelah itu mereka malah saling memberi rokok dan bercakap-cakap.
Orang yang punya barang DILARANG OLEH ADAT untuk marah, apalagi menyerang atau berkelahi dengan orang yang mengambil barang tersebut. Menurut kepercayaan, kalau ada pihak yang melanggar adat Ata Kean, dia akan terkena kutuk nenek moyang, bisa terserang penyakit atau mati mendadak.
Selain mengalami sendiri melakukan adat Ata Kean di Hokor dan Wukur, saya juga mengalami kehilangan 2 ekor ayam dan telornya ketika serombongan orang Hokor tiba-tiba datang di kampung kami di Hale. Suasana jadi heboh karena teriakan ibu-ibu dan anak-anak yang melihat orang-orang Ata Kean itu menangkap ayam, menarik anak babi dari rumah-rumah, dan para bapak tidak bereaksi keras, marah atau mengamuk. Paling-paling mereka hanya mengomel sebentar. Mereka tahu bahwa itu adat, dan adalah haram untuk melanggar, misalnya dengan menyerang atau memukul ATA KEAN tersebut.
Adat dan tradisi yang menarik ini tidak jelas kapan dimulai dan mengapa itu dilakukan. Perlu diteliti apa arti dan makna filosofisnya. (ans gregory da iry).
Demikian juga sebaliknya orang Bora, Hokor dan Wukur boleh melakukan hal serupa kalau mereka datang di kampung-kampung orang Mapitara.
Ketika masih kecil di tahun 1960-an, saya dan ayah atau kakak-kakak biasa bepergian dari Hale ke Lela melalui Bola, Bora-Hokor, Wukur, terus Sikka. Kami berjalan kaki selama dua hari, dengan bermalam di Bola, yang terletak di pertengahan antara Mapitara dengan Lela. Semua daerah ini terletak di pantai selatan Pulau Flores.
Pada hari pertama kami membawa bekal ketupat untuk dimakan di jalan. Malam harinya kami bermalam di salah satu rumah orang Bola. Mereka selalu menerima kami dengan baik, memberi kami tempat untuk bermalam bahkan menyuguhi makanan dan minuman. Keesokan paginya kami meneruskan perjalanan menuju Lela, dengan siang harinya singgah di kampung Hokor untuk istirahat. Untuk makan siang kami memetik pisang atau ubi (disebut: ohu, hura) atau singkong, dan membakar di situ untuk dimakan. Untuk minum, kami memetik kelapa muda.
Kami melakukannya tanpa merasa takut atau malu, karena memang itu sudah merupakan adat atau tradisi. Bahkan sering kali yang empunya barang, setelah tahu kami ini Ata Kean,mereka datang dan ikut bercakap-cakap dengan kami. Sebagai seseorang yang sering bepergian hampir ke seluruh wilayah kabupaten Sikka, ayah saya rupanya cukup dikenal di daerah itu.
Pernah kakak-kakak saya menangkap 2 ekor ayam di Wukur untuk dibawa ke Lela Sambil mengejar ayah, mereka berkata "Ami Ata Kean", dan yang empunya tidak akan marah, paling-paling kaget dan mengomel. Tetapi setelah itu mereka malah saling memberi rokok dan bercakap-cakap.
Orang yang punya barang DILARANG OLEH ADAT untuk marah, apalagi menyerang atau berkelahi dengan orang yang mengambil barang tersebut. Menurut kepercayaan, kalau ada pihak yang melanggar adat Ata Kean, dia akan terkena kutuk nenek moyang, bisa terserang penyakit atau mati mendadak.
Selain mengalami sendiri melakukan adat Ata Kean di Hokor dan Wukur, saya juga mengalami kehilangan 2 ekor ayam dan telornya ketika serombongan orang Hokor tiba-tiba datang di kampung kami di Hale. Suasana jadi heboh karena teriakan ibu-ibu dan anak-anak yang melihat orang-orang Ata Kean itu menangkap ayam, menarik anak babi dari rumah-rumah, dan para bapak tidak bereaksi keras, marah atau mengamuk. Paling-paling mereka hanya mengomel sebentar. Mereka tahu bahwa itu adat, dan adalah haram untuk melanggar, misalnya dengan menyerang atau memukul ATA KEAN tersebut.
Adat dan tradisi yang menarik ini tidak jelas kapan dimulai dan mengapa itu dilakukan. Perlu diteliti apa arti dan makna filosofisnya. (ans gregory da iry).
apakah hal ini msi relevan dgn zaman sekarang????
BalasHapus