Minggu, 23 Oktober 2011

Paskalis Pieter, SH, MH: Advokat Sejati Penentang Hukuman Mati

Paskalis Pieter, SH,MH
Manusia sebagai citra Allah di muka bumi sangat mulia. Tidak ada yang berhak mematikannya. Hanya Tuhan, Sang Pencipta yang berhak mengakhiri kehidupan seseorang.

Pendapat ini begitu kuat dibenak Paskalis Pieter, SH (49) sehingga seluruh pengabdiannya di bidang hukum digunakannya untuk menentang hukuman mati. Tesis S2-nya pun bernada sama, mempertanyakan eksistensi hukuman mati.

“Hukuman mati itu produk politik. Manusia adalah ciptaan Tuhan, eksistensinya harus dipertahankan,” katanya ketika ditemui di kantornya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan (23/5).

Dalam perspektif peraih Man of The Year 2001 dari Yayasan Penghargaan Indonesia ini, hukum positif Indonesia melindungi hak manusia untuk hidup. Keyakinan itu pula yang menjadi pegangan Paskalis untuk tekun berprofesi sebagai dvokad dan enasihat hukum.

Kapitang
Hukum bagi Paskalis bukan hal yang asing. Sejak kecil ia bersentuhan dengan dunia tempat orang mencari keadilan. Ia terinspirasi kebijaksanaan sang ayah. Ayahnya, ketika Paskalis kecil, adalah Kapitang, penguasa di kawasan Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Posisi Kapitang begitu dihormati. Jabatan ini memiliki wibawa dan diakui masyarakat. Lewat jabatan ini setiap permasalahan diselesaikan. Baik menggunakan hukum adat atau melalui hukum positif.

Melihat kesibukan dan earifan sang ayah, Paskalis pun berniat mendalami hukum. Karena itu ia bersekolah di Sekolah Hukum Bandung.

Segudang aktivitas di dunia LSM hukum mengangkat namanya. Asas advokat untuk tidak menolak perkara begitu mendarah-daging baginya.

Tidak heran sejumlah kasus yang tidak populer plus beresiko tinggi menjadikan ia sebagai pembela hukum. Catat saja bagaimana ia harus membela Yeni Rosa Damayanti, cs dalam perkara penghinaan Presiden Soeharto dan membela pembunuh pelukis tenar Basuki Abdullah.

Namanya semakin meroket ketika berdiri di pengadilan sebagai kuasa hukum Drs. Soerjadi dalam perkara gugatan Kongres PDI di Medan dari pihak Megawati Soekarnoputeri yang kemudian berlanjut ke kasus 27 Juli 1996 yang menghebohkan itu.

Ia juga menyingsingkan lengan ketika membela “ratu Ekstasi” Zarima, kasus peledakan bom BEJ, serta kasus terdakwa ketua SIRA Aceh.

Dari sekian kasus yang ditangani, Paskalis mengaku terkesan saat membela Fabianus Tibo (kasus Poso) dan Alex Manuputty (kasus Ambon). Pada kasus terakhir ia begitu sedih karena menjadi saksi koyaknya budaya pela gandong yang diagungkan masyarakat Maluku. Konflik horisontal bernuansa agama telah mengoyak persatuan di kalangan masyarakat Maluku dan memerlukan waktu lama untuk disembuhkan.
Paskalis Pieter sekeluarga

Advokat Profesional
Bersinggungan dengan kasus-kasus politik, memang digemari ketua Komite Pembaharuan Peradilan Indonesia (KPPI) ini, namun ia memaknainya sebagai panggilan tugas. “Saya membela kepentingan hukum, bukan mereka. Jangan sampai hak-hak mereka dilanggar,” tutur pengurus Tim Pembela Kebebasan Beragama ini.

Meski demikian keberadaan Paskalis sebagai pembela kerap disamakan dengan terdakwa yang sudah “dihakimi bersalah”. Apalagi pendapatannya sudah pasti bersumber dari yang dibela.

“Klien membiayai perkara hukumnya. Dan itu konsekuensi dari beracara di pengadilan. Tetapi klien tidak boleh mengatur advokat dalam menegakkan hukum terkait masalahnya,” ujar aktivis PBHI ini.

Dalam menegakkan hukum, advokat berpegang pada bukti; kesaksian, data dan fakta. Prosesnya bisa jadi lama. Tidak sedikit yang tidak sabar dan akhirnya menempuh jalan pintas. Dan advokat pun terseret dan dituding menjadi “broker”.

“Saya tidak mau menghakimi, tapi memang itu sudah omongan di tengah masyarakat. Tetapi tidak semua yang diasumsikan benar. Masih banyak yang memilih jalan lurus guna menegakkan hukum.”

Karena itu Paskalis menyarankan, pentingnya moral dalam diri advokat. “Membela merupakan implikasi pelaksanaan moral; membantu dan menjalankan tugas,” katanya.

Pengagum pendekar hukum Adnan Buyung Nasution ini masih punya obsesi lain di bidang hukum. Ia merindukan persatuan di kalangan advokat. “Kalau polisi satu, hakim satu, jaksa satu, mengapa advokad tidak bisa satu?” tanyanya, sambil embandingkan dengan aparat enegak hukum lain. Karena itu ia begitu rajin enggalang pembentukan wadah yang empersatukan organisasi advokat yang tumbuh dan bertambah.

Sumber: Majalah Bahana, Juli 2008

1 komentar: