Selasa, 01 November 2011

*Catatan Perjalanan Pasca Letusan Egon (2) Bencana, Solidaritas dan Pemberdayaan


Pater Steph Tupeng Witin
Oleh: Steph Tupeng Witin
Kali Wair Raat, kurang lebih 1 kilometer dari Dusun Baokrenget, Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara terbelah besar. Bongkahan lahar panas yang telah mengering membentangi badan kali. Sebuah jembatan jebol. Inilah salah satu pusat lokasi aliran lahar panas dan abu pada letusan Egon 15 April 2008 lalu. Uskup Maumere, Mgr. Kherubim Pareira, SVD yang mengunjungi lokasi itu bersama Direktur Puspas Keuskupan Maumere, Romo Sirilus Meo, Pr, Jumat (9/5) tidak membayangkan seandainya aliran lahar panas itu menerjang perumahan dan warga. Bahkan ke depan, gumpalan lahar panas itu sangat berbahaya jika terjadi banjir di kemudian hari yang akan berakhir di Waigete.

Uskup Kheru mengunjungi lokasi Egon sekaligus berdialog dengan sebagian kecil pengungsi yang memilih tetap bertahan di Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete meski situasinya sudah kembali normal. Uskup berikhtiar melihat secara langsung situasi terakhir agar mendapatkan data yang pasti sekaligus berdialog dengan umat (pengungsi) untuk memperoleh informasi yang benar. Saat berdialog, pengungsi mengutarakan kesulitan yang dialami: tanaman pangan yang hancur, perumahan yang tertutup lahar dan abu vulkanik, bayangan ketakutan akan letusan susulan Gunung Egon dan beratnya niat untuk kembali lagi ke rumah. Uskup Kheru mengajak pengungsi untuk segera keluar dari persoalan ini dengan mencari lokasi yang aman untuk berpindah. Pengungsi setuju karena memiliki lokasi di Blidit. Tinggal bagaimana pihak-pihak terkait berjejaring mendukung niat warga ini.

Uskup Kheru mengatakan, meski kerusakan yang ditimbulkan cukup parah, namun pengungsi mesti segera “dibangunkan” untuk berupaya mencari jalan keluar dari kesulitan ini. Ada bahaya bahwa bencana terkadang mengurung orang dalam ketidakberdayaan, meski sebenarnya ia memiliki potensi yang besar. Orang bisa saja sembunyi di balik kedahsyatan bencana dan gelombang solidaritas kemanusiaan. Sikap pasif, hanya menunggu datangnya belaskasihan, sumbangan orang lain, mesti dilawan dengan upaya pemberdayaan kesadaran. Titik ini bisa “disalahmanfaatkan” oleh kelompok-kelompok tertentu untuk merekayasa proposal bantuan dan politisasi bencana untuk membangun resistensi dengan pihak pengambil kebijakan.

Direktur Puspas Keuskupan Maumere, Romo Sirilus Meo, Pr mengatakan, bahaya apatisme potensi dengan bersembunyi di balik tembok argumen bencana dan ketiadaan harapan hidup mesti dijernihkan dengan data lapangan dan informasi yang benar. Bencana adalah realitas alam yang kadang terjadi di luar dugaan dan perkiraan manusia. Bencana selalu membawa korban. Tetapi bencana tidak bisa membuat manusia larut di dalamnya. Mesti ada pemikiran dan upaya lain untuk mencari celah agar kesulitan yang saat ini menimpa bisa diatasi. Minimal, kekuatan yang ada dalam diri dan lingkungan dapat membantu membangun dan menumbuhkan energi untuk berubah.

Sekretaris Eksekutif Pusat Riset Agama dan Kebudayaan Candraditya, Maumere, Pater Eman Yosef Embu, SVD mengatakan, setiap upaya untuk membantu para korban bencana mesti tetap mengutamakan pemberdayaan kemampuan, minimal kesadaran bahwa orang mesti merasa ada kekuatan, betapa pun sederhananya, sebagai dasar pijak untuk bangkit dari “kejatuhan.” Menurutnya, kesadaran ini juga harus ada dalam pemikiran setiap komponen yang atas nama kemanusiaan hadir di lokasi pengungsian sebagai tanda solidaritas dengan para korban.Ibaratnya, kita datang memberi kail agar dengan usahanya sendiri mampu memancing ikan dari laut kenyataan (bencana) secara mandiri. Bahayanya, kalau di tengah situasi seperti ini kelompok yang memberi bantuan “memanfaatkan” situasi ketidakberdayaan korban untuk “memancing sesuatu” bagi diri dan kepentingannya. Gambar-gambar yang diatur sedemikian tragis kadang menjadi celah paling gampang untuk menarik simpati berupa dana, sumbangan dan sebagainya.

Sekretaris Karitas, lembaga yang bernaung di bawah Gereja Keuskupan Maumere, Kanisius Kasih mengatakan, sikap kritis dari setiap pemberi bantuan mesti ditempatkan dmeski dalam bendera solidaritas kemanusiaan. Bisa saja, orang terjebak dalam “permainan” kepentingan untuk mengail keuntungan yang tidak akan menumbuhkan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. “Kita selalu turun ke lapangan, mengambil data, menganalisisnya dan merumuskan strategi bantuan yang akan diberikan kepada para pengungsi. Bantuan yang kita berikan selalu dalam perspektif pemberdayaan. Kekuatan dan peluang positif yang ada dalam diri korban harus dibangkitkan agar tumbuh rasa percaya pada kekuatan diri sebagai dasar untuk mandiri. Jujur, kalau kita tidak kritis akal sehat bisa dikalahkan oleh bujuk rayu, air mata dan kata-kata memelas yang merebut hati,” katanya.

Bencana apa pun selalu membangkitkan solidaritas kemanusiaan. Solidaritas kemanusiaan ini membuka jejaring kerja sama dengan berbagai elemen yang peka. Meski demikian, jejaring solidaritas itu mesti dilandasi oleh sikap kritis yang berupaya agar semangat mandiri, sadar akan kekuatan diri terus bertumbuh. Solidaritas tidak mesti mematikan energi dalam diri manusia untuk berkembang dan maju. Sikap ini yang mesti menjadi awasan setiap kali daerah ini kembali menjadi etalase bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar