Rabu, 02 November 2011

EGON: THE LOST PARADISE


[Oleh: Alexander Yopi Susanto, Wartawan, tinggal di Jakarta Selatan]

Egon terlihat gagah. Di sekeliling kawahnya terburat garis lurus awan putih. Tidak ada asap. Tidak ada bunyi gemuruh. Nampak tenang agung dengan keindahan sekilas di puncaknya.

Kalau punya kesempatan merangsek ke dalam, pada isi perut di kaki pegunungan itu, akan ditemukan aneka kekayaan dan keindahannya. Beberapa jenis burung Kakatua, Nuri, Beo dengan pernah pernik warnanya, sekawanan rusa bertanduk empat, babi hutan, ayam hutan, kera, bahkan kelinci.

Beberapa kali seekor dua rusa masuk kampung. Sekejab rupa, kampung menjadi ramai. Laki-laki berumur maupun belia sama-sama mengejar rusa yang masuk kampung itu. Mirip arena balapan dengan lintasan tak berhingga. Sampai rusa itu benar-benar tertangkap.

Lain waktu, di rumahku beberapa orang di kaki gunung mengantar burung Kakatua, Nuri, atau Beo. Bulunya indah. Suara kicauannya merdu rupawan. Tetapi tidak mudah untuk mengurung burung-burung itu pada sangkar. Mereka sudah terbiasa dengan alam bebas di kaki pegunungan. Kalau tidak keburu dilepas, mereka bakal mati.

Hampir setiap sore, ketika beberapa siswa berpawai-pawai ke sekolah untuk belajar sore, anak-anak di kampung kami justru berbaris menuju hutan di kaki pegunungan itu. Mereka, yang rata-rata perempuan ragam usia itu, mencari kayu bakar. Mengambil dan mematahkan ranting-ranting pohon yang kering. Atau dahan dan batang pohon yang sudah mendekati lapuk. Semua itu dikumpulkan pada sebuah ikatan. Dibawa pulang untuk kebutuhan dapur. Menghidupkan tungku api dengan kayu-kayu kering itu.

Pada belukar hutan dan pohon kenari tua di sebuah letak, sekitar 15 kilometer dari jalan raya Maumere – Larantuka, tersembunyi mata air panas. Yang keluar terus menerus dari perut bumi oleh desakan aktivitas vulkanologi. Tempatnya masih sangat perawan. Tidak ada jebakan sejenis bendungan. Ia tercipta dari palung alam. Membaringkan aliran dari sumber panas itu mengalir di sela berisik gesekan daun-daun kenari.

Kalau sedikit menanjak ke sebuah perkampungan. Blidit, namanya. Ditemukan di sana bendungan tua yang tak terawat. Volume air yang dialirinya cukup membuat dam-dam di sepanjang bendungan itu penuh. Melimpahkan air pada sawah-sawah di Waigete. Yang membuat Waigete dikenal sebagai salah satu lumbung beras, sayur-sayuran, dan buah-buahan di Kabupaten Sikka.

Gunung Egon merupakan gunung api vulkanik dengan ketinggian 1.703 meter (5.587 kaki) yang memiliki sumber belerang. Di bawah kaki gunung Egon, tepatnya dekat Baokrenget, terdapat pemandian air panas. Jika Pemda Sikka-Flores-NTT membuka jalur jalan di daerah ini maka bisa menjadi daerah tujuan wisata yang menarik.[*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar