[Makalah ini disampaikan dalam acara Roadshow Kespro Remaja di Kabupaten Ende, Flores, NTT, 08 Maret 2008 lalu]
Pengertian Kaum Muda
ISTILAH “kaum muda” sendiri sebetulnya tidak menunjuk pada suatu kelompok manusia konkret yang disepakati secara jelas. Sebab, untuk memahami pengertian kaum muda itu sendiri, diperlukan tinjauan dari berbagai sudut. Hal itu menyangkut juga perihal terbentuknya “kaum muda” dari berbagai aspek, berikut pengertian dari kaum muda itu sendiri. Artinya, untuk memahami kaum muda, harus ditelaah dari berbagai aspek filosofis, sosiologis, budaya atau antropologis dan psikologis.
Oleh karena itulah kita dapat menjelaskan apa pengertian dari kaum muda. Siapa sebetulnya yang dapat dikelompokkan kaum muda. Memang banyak yang berpendapat bahwa kaum muda itu adalah sekelompok manusia yang berusia antara 14/15 sampai 24 (begitulah misalnya kalangan UNESCO). Ada juga yang beranggapan bahwa kaum muda adalah seseorang yang masih muda sebelum berusia 50 tahun (ini dari sudut ilmu sosial kemasyarakatan).
Di kalangan para biolog usia 45 tahun dianggap sebagai batas kelompok muda dan tua, sedangkan dari sudut pembinaan karier kerja profesional, usia 28 tahun dianggap sudah tidak muda lagi. Tetapi, dari sudut yuridis, sesudah 21 tahun usianya, orang sudah tidak muda lagi, dan sudah sama dewasanya dengan orang lain.
Begitulah kalau kita mau memandang kemudaan sebagai pengertian psikologis yang amat erat berkaitannya dengan perkembangan biologis manusia. Hanya bahwa apabila kita ingin menelaah secara lebih dalam perihal kaum muda termasuk remaja dengan segala problematika yang dihadapinya, memang pembagian seperti itu belum memenuhi sasaran. Sebab, permasalahan kaum muda juga dapat dipahami dari sudut kehidupan sosial budaya dan kemasyarakatan.
Artinya, secara umum, kaum muda dipahami sebagai masa antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Masa remaja seringkali dimasukkan ke dalam kelompok ini. Memang banyak kalangan mengatakan kaum remaja tidak dimasukkan ke dalam kelompok kaum muda, dengan berbagai pertimbangan. Hanya saja dalam pembicaraan kali ini kita lebih memfokuskan pada kaum muda dalam pengertian sebagaimana disebutkan di atas, yaitu yang berusia 14/15 sampai 24.
Dalam makalah ini kaum muda disoroti dalam kaitannya dengan segala persoalan yang membelitnya, yaitu persoalan budaya, agama (Katolik), psikologis, khususnya dalam kaitannya dengan faktor kesehatan reproduksi, dan tanggung jawabnya dengan masa depan Gereja dan bangsa. Maka, yang dibicarakan dalam kesempatan kali ini adalah dalam kaitannya dengan lingkup umur tertentu yang menampilkan orang-orang dengan sikap dan pola tingkah laku tertentu, khususnya perilaku seksual dalam masyarakat bangsa dan negara, serta Gereja.
Oleh karena itulah kaum muda harus menyadari bahwa mereka merupakan sekelompok masyarakat yang sudah tidak anak-anak lagi dan belum dewasa secara penuh dan matang, khususnya secara psikologis. Sehingga, dengan demikian, kaum muda sering dikatakan mereka memiliki masa depan sekaligus sebagai sebuah generasi penerus masa depan bagi bangsa dan negara termasuk Gereja. Dalam proses regenerasi misalnya, kaum muda disebut sebagai calon pemimpin masa depan.
Kaum Muda dan Gereja
Memang saya tidak terlalu berkompeten membicarakan perihal kaum muda/remaja dalam Gereja, karena asosiasi kita selama ini bahwa yang lebih berkompeten membicarakan kaum muda dalam kaitan dengan Gereja adalah kaum biarawan, para pastor, romo atau suster. Tetapi, demi kepentingan makalah ini saya menyinggung sedikit masalah kaum muda dalam kaitannya dengan Gereja. Kaum muda dalam Gereja, biarbagaimanapun memiliki posisi tertentu yang menentukan dan strategis.
Dalam Gaudium et Spes umat menekankan, betapa Gereja dan umat beriman semakin diwarnai oleh mayoritas warganya, yaitu kelompok orang-orang muda yang sampai kini disebut kaum muda. Dekrit untuk kerasulan Kaum Awam menunjuk betapa kaum muda amat mempengaruhi dunia modern. Sehingga, Konsili Vatikan II menghendaki agar perhatian kepada kaum muda menjadi keprihatinan mendalam yang lebih menyeluruh dalam jemaat beriman. Bukan hanya para pastor atau kaum biarawan, tetapi juga kaum awam terdidik diharuskan memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada generasi muda dalam Gereja yang dimaksud.
Sebetulnya juga perlu diketahui bahwa dalam posisinya di tengah Gereja, kaum muda memang memiliki posisi tertentu. Untuk itu, Konstitusi Dogmatis tentang Dei Verbum (Sabda Allah) menempatkan kaum muda tidak terpisahkan sama sekali dari kaum tua. Gereja hadir secara keseluruhan dan semua menghadap Bapa dengan penuh pengharapan akan kecerahan masa depan. Bahkan, dalam gerak hidup orang muda, seluruh umat Allah memperlihatkan diri sebagai Allah yang sedang tumbuh menyambut pilihan Allah (Ef. 1:14) dan sedang lahir kembali (1 Petr 1:9:6).
Jadi, kaum muda Katolik di tengah kemajemukan bangsa di mana posisi Katolik itu sendiri minoritas di negara ini, maka betapa besar tantangan yang dihadapinya. Untuk menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat, bangsa dan negara ini kaum muda Katolik hendaknya bekerja lebih keras dan berjuang lebih maksimal serta memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap kemajuan bangsa dan negara ini, terutama terhadap kemajuan masa depan Gereja. Hidup di desa dan di kota-kota kecil dengan tingkat kemajemukan yang rendah seperti di NTT, memang tantangan yang dihadapi tidak berat. Tetapi, secara nasional, khususnya hidup di kota-kota besar seperti Jakarta dengan tingkat kemajemukan yang sangat tinggi, tentu tantangan yang dihadapi kaum muda Katolik di Jakarta jauh lebih besar dan bahkan sangat besar sekarang ini.
Lalu, apa yang mesti dilakukan oleh kaum muda sebagai generasi penerus Gereja di tengah situasi kemajemukan bangsa di mana Katolik merupakan kelompok yang sangat minor ini? Jawaban tentu ada pada kaum muda sendiri, apakah kaum muda sendiri ingin dan mau berjuang secara maksimal untuk memajukan dirinya demi kemajuan Gereja, bangsa dan negara ini.
Oleh karena, seperti saya katakan di atas, bahwa kompetensi saya tidak cukup untuk membicarakan perihal kaum muda dalam Gereja, apalagi yang menjadi persoalan utama yang perlu dibicarakan secara panjang lebar dalam pertemuan kita kali ini adalah dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi, maka bagian berikut kita lebih memfokuskan diri pada perihal kesehatan reproduksi. Mengapa tema ini menjadi sentral dalam pertemuan ini, karena memang demi menjaga kelestarian hidup generasi bangsa (termasuk Gereja) masa depan, maka negara, di bawah Menteri Kepemudaan dan Olahraga menurunkan sebuah program karya yang bersentuhan langsung dengan kaum muda, yaitu yang menyangkut seksualitas dan kesehatan reproduksi. Bukankah tanpa kesehatan reproduksi yang baik, kehidupan masa depan umat manusia, khususnya kaum muda tidak akan menjadi lebih baik?
Kaum Muda dan Kesehatan Reproduksi
Seksualitas dan kesehatan reproduksi kaum muda/remaja, didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik dan psikis seorang remaja (orang muda), termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS. Sebuah penelitian mengatakan, setiap tahun kira-kira 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi, dan hampir 100 juta terinveksi penyakit menular seksual. Secara global 40 persen dari semua kasus infeksi HIV terjadi pada kaum muda/remaja yang berusia 15-24 tahun. Perkiraan terakhir, setiap hari ada 7000 remaja di dunia terinfeksi HIV/AIDS.
Perlu diingat bahwa jumlah kaum muda/remaja yang berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30 persen dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah itu sekitar 15-20 persen dari remaja atau kaum muda usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Karena itu, benar seperti dikatakan di atas bahwa 15 juta remaja/kaum muda perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya. Dari fenomena itu perlu diketahui bahwa hingga 2007 telah tercatat sekitar 7500-an kasus AIDS dan sekitar 7300-an kasus HIV positif di Indonesia, dengan 78,8 persen dari kasus-kasus baru yang terlaporkan berasal dari usia 15-29 tahun.
Maka, tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan reproduksi di kalangan remaja atau kaum muda menjadi sangat penting. Mengapa? Masa remaja atau masa muda adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial, sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Artinya, karena faktor psikologis dan sosial yang melilit kaum muda dan/atau remaja usia tersebut, yang sekaligus juga menjadi generasi masa depan bangsa, negara termasuk Gereja, sehingga menempatkan masa ini sebagai masa transisi-kritis.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan, saat berhubungan seks pertama selalu lebih muda daripada usia ideal menikah. Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing remaja atau orang-orang usia muda untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman beralkohol, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran. Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasan berperilaku seksual yang berisiko tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk penggunaan alat kontrasepsi.
Kebutuhan dan jenis risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari anak-anak atau orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja seperti telah disinggung di atas, antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual dan kekerasan seksual. Risiko ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan gender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
Khususnya bagi remaja putri, mereka kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki. Bahkan, pada remaja di daerah pedesaan dengan budaya tertentu, haid/menstruasi pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan mereka pada risiko kehamilan dan persalinan dini.
Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada kaum muda/remaja justru adalah akibat ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orang tua yang menabukan pertanyaan remaja tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan anak. Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan orang tua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah. Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga berpengaruh.
Penelitian yang dilakukan di negara maju menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih banyak melakukan hubungan seksual pada usia yang lebih muda dibandingkan dengan remaja perempuan. Remaja yang lebih tua umurnya lebih cenderung melakukan hubungan seksual, tetapi mereka juga lebih cenderung menggunakan alat kontrasepsi. Perkembangan fisik tubuh remaja zaman sekarang lebih cepat besar, hal ini dapat dilihat dari semakin mudanya umur menstruasi pertama di kalangan remaja perempuan. Namun, perkembangan fisik yang cepat sering kali tidak diikuti oleh perkembangan mental, emosi atau kepribadian yang dewasa serta betanggung jawab. Ini yang membuat remaja wanita atau perempuan mudah jatuh dalam perilaku hubungan seksual pada usia dini.
Selain dari faktor remaja atau orang-orang muda sendiri, faktor luar juga mempengaruhi remaja untuk berperilaku berisiko berhubungan seks bebas-pra nikah. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Cooksey , seorang pengamat perilaku seksual remaja di Amerika, dikatakan faktor luar yang paling dekat dengan remaja adalah latar belakang keluarganya. Remaja yang mempunyai ibu yang melahirkan pada usia muda juga akan melakukan hubungan seksual pra nikah pada usia muda pula. Remaja yang rendah rasa percaya dirinya juga sering melakukan perbuatan yang berisiko dan cenderung untuk melakukan hubungan seks pra nikah pada usia muda.
Faktor Budaya/Pandangan Masyarakat
Perilaku remaja tidaklah terlepas dari pendefinisian masyarakat budaya tentang siapa remaja, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat. Ada masyarakat dengan tingkat budaya tertentu yang secara tidak langsung mendorong orang muda untuk terlibat dalam perilaku-perilaku yang mengarah pada risiko. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kristian Kiem pada tahun 2003, menemukan bahwa dalam masyarakat Maluku lelaki muda atau yang masih muda usia, cenderung dianjurkan untuk melakukan hubungan seks pra nikah karena dipercayai akan menunjang keberhasilan kehidupan keluarganya kelak. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh seorang peneliti pada tahun 1997, menemukan bahwa di antara kalangan orang tua yang merupakan migran di daerah Bengkulu-Sumatera yang berasal dari Jawa memiliki kebiasaan menikahkan anak perempuannya langsung setelah anak akil balik yang ditandai dengan menstruasi. Kebiasaan yang sama juga dilakukan oleh para orang tua di daerah Indramayu Jawa Barat yang mempunyai kebiasaan akan menikahkan anak perempuan mereka pada usia muda. Bahkan, di daerah Rangkas, Jawa Barat juga tercatat orang tua menikahkan anak perempuannya pada usia sangat muda pasca akil balik. Bahkan, kawin cerai di daerah Indramayu dan Rangkas, sangat tinggi. Seorang perempuan merasa bangga bila dalam usianya yang cukup muda sudah beberapa kali kawin cerai. Dan sebaliknya, seorang perempuan merasa terhina jika dalam usia di atas 20 tahun belum menikah.
Dalam penelitian lainnya, dikatakan representasi remaja laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual sekitar 5 persen sedangkan remaja perempuan yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual kurang dari 1 persen. Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang lain, maka presentase ini sangatlah kecil. Penelitian tentang keperawanan yang dilakukan di Kota Medan, di mana pandangan masyarakat Batak di Sumatera Utara terhadap kesucian hidup dan keperawanan yang mulai longgar, sekitar 27 persen remaja laki-laki (dari 463 orang) dari 7 persen remaja perempuan (dari 412 orang) mengaku sudah melakukan hubungan seksual pra nikah. Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh LD-FEUI (2002) 5 persen remaja laki-laki mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks dan 3 persen remaja perempuan, dengan remaja kota lebih tinggi persentasi yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual dibandingkan remaja pedesaan (5 persen dari 3 persen).
Berbedanya persentase remaja yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual, karena adanya rasa malu dari remaja untuk mengaku bahwa mereka pernah melakukan seks pra nikah. Ada juga terpaksa melakukan hubungan seks dengan pacarnya disebabkan oleh salah bergaul di mana merasa kurang percaya diri jika mendengar bahwa temannya yang lain pernah melakukan hubungan seks dan mereka belum melakukannya. Ada penelitian mengatakan, remaja laki-laki yang telah melakukan hubungan seks pra nikah mengaku alasan mereka melakukan hubungan seks karena mereka menyukai pasangan seksnya sebanyak 39 persen. Dari setiap 10 remaja 3 orang mengaku mereka melakukan hubungan seks pra nikah karena ingin tahu, dan hanya 1 dari 7 remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah karena tekanan dari pasangannya.
Risiko Melakukan Hubungan Seks Pra Nikah dan Kawin Muda
Kawin muda dan hubungan seks pra nikah dan hubungan seks bebas tanpa kontrol, jelas sekali memiliki risiko yang sangat tinggi, yang bukan saja menyangkut kesehatan reproduksi, tetapi juga menyangkut nasib masa depan remaja atau kaum muda itu sendiri, bahkan juga nasib bangsa dan Gereja. Kegiatan seksual yang tidak aman telah menempatkan kaum muda/remaja pada tantangan risiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi, Dan kesehatan reproduksi remaja umumnya dipengaruhi oleh kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (HIV/AIDS) dan kekerasan seksual. Di samping itu, kesehatan reproduksi juga dipengaruhi oleh gizi, kesehatan mental-psikologis, ekonomi dan ketidaksetaraan jender yang menyulitkan remaja putri menghindari hubungan seks yang dipaksakan atau seks komersial seperti pelacuran atau prostitusi.
Kehamilan. Di berbagai negara dan daerah, banyak wanita menikah dan melahirkan di masa remaja. Ini dilatari oleh berbagai faktor budaya yang melingkupinya. Kehamilan dan persalinan membawa risiko kematian (mortalitas) yang lebih besar pada remaja dibandingkan pada wanita yang berusia di atas 20 tahunan, terutama di wilayah di mana pelayanan medis sangat langka atau tidak tersedia. Remaja putri yang berusia kurang dari 18 tahun mempunyai 2 sampai 5 kali risiko kematian (maternal mortality) dibandingkan dengan wanita yang telah berusia 18-25 tahun akibat persalinan lama dan persalinan macet, perdarahan maupun faktor lain. Kegawatan daruratan yang berkaitan dengan kehamilan, misalnya tekanan darah tinggi (hipertensi) dan kurang darah (anemia) sering menyergap wanita yang melahirkan dalam usia yang sangat dini, apalagi misalnya di daerah yang kekurangan gizi.
Aborsi yang tidak aman. Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja atau orang muda sering kali berakhir dengan aborsi. Banyak survei yang telah dilakukan di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa hampir 60 persen kehamilan pada wanita di bawah usia 20 tahun adalah kehamilan yang tidak diinginkan atau salah waktu (mistimed). Di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, mahasiswi atau pelajar yang hamil seringkali mencari pelayanan aborsi agar mereka tidak dikeluarkan dari sekolah. Perlu dicatat bahwa banyak sekali kasus kematian yang disebabkan oleh tindakan aborsi yang dilakukan oleh para remaja putri karena kehamilan yang tidak diinginkan. Apalagi di banyak negara, risiko ini akan menjadi berat di mana aborsi hanya tersedia dalam keadaan yang tidak aman. Ada sebuah penelitian yang dilakukan di sejumlah negara, selama 13 tahun belakangan ini ditemukan bahwa 72 persen kematian ibu di sebuah rumah sakit, terjadi pada wanita di bawah usia 19 tahun dan disebabkan oleh komplikasi akibat aborsi yang tidak aman.
Penyakit seksual, termasuk yang paling mengerikan sekarang adalah AIDS/HIV. Infeksi penyakit menular dapat menyebabkan masalah kesehatan seumur hidup, termasuk kemandulan dan rasa sakit kronis, serta meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS. Dari hasil penelitian di sejumlah negara dan daerah, penyakit menular yang seringkali membawa kematian umumnya dialami oleh mereka yang berusia muda antara 13-20 tahun. Risiko remaja yang tertular HIV/AIDS semakin hari semakin meningkat. Infeksi baru pada kelompok wanita jauh lebih tinggi dibandingkan pada pria, dengan risiko 2 bading 1.
Tangggung jawab Terhadap Masa Depan Bangsa dan Gereja
Mengingat pertimbangan-pertimbangan tentang kedudukan kaum muda/remaja dalam masyarakat, bangsa dan Gereja secara integral, maka kelompok orang-orang muda harus mendapat porsi yang memadai dalam pembinaan. Dalam hal ini, negara dan Gereja tentu memiliki tanggung jawab yang besar dalam ”menyelamatkan” kaum muda dari perilaku negatif dan agar kaum muda/remaja tidak terjerembab ke dalam kehancuran akibat perilaku yang berisiko, seperti melakukan hubungan seks, pra nikah atau seks bebas, demi masa depan bangsa dan negara. Di samping itu, keluarga dan masyarakat juga memiliki andil yang sangat besar di dalamnya.
Tetapi, apa pun tindakan penyelamatan yang dilakukan negara dan Gereja, akan menjadi sia-sia jika kaum muda sendiri tidak memiliki kemauan yang keras untuk menjaga dan mengawasi diri dalam pergaulannya. Kaum muda sendiri harus memotivasi diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang berisiko dalam pergaulan bebas.
Perlu diingat bahwa bangsa dan negara memiliki norma-norma moral, adat istiadat yang luhur serta nilai-nilai keagamaan yang mumpuni. Perilaku seks bebas sebenarnya masih sangat tercela di tengah masyarakat kita. Hanya celakanya, orang-orang muda sendiri saat ini semakin kurang menghormati norma-norma moral, nilai-nilai agung keagamaan yang dianut Gereja dan masyarakat kita.
Maka, menjadi generasi yang bagaimanakah di masa depan jika kaum muda sendiri tidak menjaga norma-norma moral dan nilai-nilai agama lewat perilaku seks bebas-pra nikah yang berisiko? Bukankah bentuk masyarakat masa depan ditentukan oleh sosok generasi muda saat ini? Maka, generasi muda harus mengintegrasikan sifat-sifat kemudaan dalam tata hidup bersama gerejani dan masyarakat. Dalam hal ini, kaum muda dengan bantuan Gereja dan negara harus terus menerus menggalang potensi dalam dirinya dan membebaskan diri dari perilaku berisiko dengan kegiatan-kegiatan yang positif dengan menonjolkan optimisme dalam diri dan karyanya.
Untuk hal-hal yang praktis, kaum muda hendaknya dapat menghindari diri dari perilaku-perilaku negatif dengan melakukan tindakan-tindakan positif seperti mengembangkan kemampuan praktis, bakat-bakat dan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Para ahli bimbingan dan konselor dalam bimbingan dan konseling selalu mengatakan kegiatan-kegiatan yang positif bagi kaum muda dapat menghindari dirinya dari perilaku-perilaku yang negatif yang merusak moral kaum muda dan membunuh masa depannya sendiri.
Jakarta, akhir Februari 2008
*): Penulis adalah Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Pengurus Pusat Pemuda Katolik Periode 2006-2009
Pengertian Kaum Muda
ISTILAH “kaum muda” sendiri sebetulnya tidak menunjuk pada suatu kelompok manusia konkret yang disepakati secara jelas. Sebab, untuk memahami pengertian kaum muda itu sendiri, diperlukan tinjauan dari berbagai sudut. Hal itu menyangkut juga perihal terbentuknya “kaum muda” dari berbagai aspek, berikut pengertian dari kaum muda itu sendiri. Artinya, untuk memahami kaum muda, harus ditelaah dari berbagai aspek filosofis, sosiologis, budaya atau antropologis dan psikologis.
Oleh karena itulah kita dapat menjelaskan apa pengertian dari kaum muda. Siapa sebetulnya yang dapat dikelompokkan kaum muda. Memang banyak yang berpendapat bahwa kaum muda itu adalah sekelompok manusia yang berusia antara 14/15 sampai 24 (begitulah misalnya kalangan UNESCO). Ada juga yang beranggapan bahwa kaum muda adalah seseorang yang masih muda sebelum berusia 50 tahun (ini dari sudut ilmu sosial kemasyarakatan).
Di kalangan para biolog usia 45 tahun dianggap sebagai batas kelompok muda dan tua, sedangkan dari sudut pembinaan karier kerja profesional, usia 28 tahun dianggap sudah tidak muda lagi. Tetapi, dari sudut yuridis, sesudah 21 tahun usianya, orang sudah tidak muda lagi, dan sudah sama dewasanya dengan orang lain.
Begitulah kalau kita mau memandang kemudaan sebagai pengertian psikologis yang amat erat berkaitannya dengan perkembangan biologis manusia. Hanya bahwa apabila kita ingin menelaah secara lebih dalam perihal kaum muda termasuk remaja dengan segala problematika yang dihadapinya, memang pembagian seperti itu belum memenuhi sasaran. Sebab, permasalahan kaum muda juga dapat dipahami dari sudut kehidupan sosial budaya dan kemasyarakatan.
Artinya, secara umum, kaum muda dipahami sebagai masa antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Masa remaja seringkali dimasukkan ke dalam kelompok ini. Memang banyak kalangan mengatakan kaum remaja tidak dimasukkan ke dalam kelompok kaum muda, dengan berbagai pertimbangan. Hanya saja dalam pembicaraan kali ini kita lebih memfokuskan pada kaum muda dalam pengertian sebagaimana disebutkan di atas, yaitu yang berusia 14/15 sampai 24.
Dalam makalah ini kaum muda disoroti dalam kaitannya dengan segala persoalan yang membelitnya, yaitu persoalan budaya, agama (Katolik), psikologis, khususnya dalam kaitannya dengan faktor kesehatan reproduksi, dan tanggung jawabnya dengan masa depan Gereja dan bangsa. Maka, yang dibicarakan dalam kesempatan kali ini adalah dalam kaitannya dengan lingkup umur tertentu yang menampilkan orang-orang dengan sikap dan pola tingkah laku tertentu, khususnya perilaku seksual dalam masyarakat bangsa dan negara, serta Gereja.
Oleh karena itulah kaum muda harus menyadari bahwa mereka merupakan sekelompok masyarakat yang sudah tidak anak-anak lagi dan belum dewasa secara penuh dan matang, khususnya secara psikologis. Sehingga, dengan demikian, kaum muda sering dikatakan mereka memiliki masa depan sekaligus sebagai sebuah generasi penerus masa depan bagi bangsa dan negara termasuk Gereja. Dalam proses regenerasi misalnya, kaum muda disebut sebagai calon pemimpin masa depan.
Kaum Muda dan Gereja
Memang saya tidak terlalu berkompeten membicarakan perihal kaum muda/remaja dalam Gereja, karena asosiasi kita selama ini bahwa yang lebih berkompeten membicarakan kaum muda dalam kaitan dengan Gereja adalah kaum biarawan, para pastor, romo atau suster. Tetapi, demi kepentingan makalah ini saya menyinggung sedikit masalah kaum muda dalam kaitannya dengan Gereja. Kaum muda dalam Gereja, biarbagaimanapun memiliki posisi tertentu yang menentukan dan strategis.
Dalam Gaudium et Spes umat menekankan, betapa Gereja dan umat beriman semakin diwarnai oleh mayoritas warganya, yaitu kelompok orang-orang muda yang sampai kini disebut kaum muda. Dekrit untuk kerasulan Kaum Awam menunjuk betapa kaum muda amat mempengaruhi dunia modern. Sehingga, Konsili Vatikan II menghendaki agar perhatian kepada kaum muda menjadi keprihatinan mendalam yang lebih menyeluruh dalam jemaat beriman. Bukan hanya para pastor atau kaum biarawan, tetapi juga kaum awam terdidik diharuskan memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada generasi muda dalam Gereja yang dimaksud.
Sebetulnya juga perlu diketahui bahwa dalam posisinya di tengah Gereja, kaum muda memang memiliki posisi tertentu. Untuk itu, Konstitusi Dogmatis tentang Dei Verbum (Sabda Allah) menempatkan kaum muda tidak terpisahkan sama sekali dari kaum tua. Gereja hadir secara keseluruhan dan semua menghadap Bapa dengan penuh pengharapan akan kecerahan masa depan. Bahkan, dalam gerak hidup orang muda, seluruh umat Allah memperlihatkan diri sebagai Allah yang sedang tumbuh menyambut pilihan Allah (Ef. 1:14) dan sedang lahir kembali (1 Petr 1:9:6).
Jadi, kaum muda Katolik di tengah kemajemukan bangsa di mana posisi Katolik itu sendiri minoritas di negara ini, maka betapa besar tantangan yang dihadapinya. Untuk menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat, bangsa dan negara ini kaum muda Katolik hendaknya bekerja lebih keras dan berjuang lebih maksimal serta memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap kemajuan bangsa dan negara ini, terutama terhadap kemajuan masa depan Gereja. Hidup di desa dan di kota-kota kecil dengan tingkat kemajemukan yang rendah seperti di NTT, memang tantangan yang dihadapi tidak berat. Tetapi, secara nasional, khususnya hidup di kota-kota besar seperti Jakarta dengan tingkat kemajemukan yang sangat tinggi, tentu tantangan yang dihadapi kaum muda Katolik di Jakarta jauh lebih besar dan bahkan sangat besar sekarang ini.
Lalu, apa yang mesti dilakukan oleh kaum muda sebagai generasi penerus Gereja di tengah situasi kemajemukan bangsa di mana Katolik merupakan kelompok yang sangat minor ini? Jawaban tentu ada pada kaum muda sendiri, apakah kaum muda sendiri ingin dan mau berjuang secara maksimal untuk memajukan dirinya demi kemajuan Gereja, bangsa dan negara ini.
Oleh karena, seperti saya katakan di atas, bahwa kompetensi saya tidak cukup untuk membicarakan perihal kaum muda dalam Gereja, apalagi yang menjadi persoalan utama yang perlu dibicarakan secara panjang lebar dalam pertemuan kita kali ini adalah dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi, maka bagian berikut kita lebih memfokuskan diri pada perihal kesehatan reproduksi. Mengapa tema ini menjadi sentral dalam pertemuan ini, karena memang demi menjaga kelestarian hidup generasi bangsa (termasuk Gereja) masa depan, maka negara, di bawah Menteri Kepemudaan dan Olahraga menurunkan sebuah program karya yang bersentuhan langsung dengan kaum muda, yaitu yang menyangkut seksualitas dan kesehatan reproduksi. Bukankah tanpa kesehatan reproduksi yang baik, kehidupan masa depan umat manusia, khususnya kaum muda tidak akan menjadi lebih baik?
Kaum Muda dan Kesehatan Reproduksi
Seksualitas dan kesehatan reproduksi kaum muda/remaja, didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik dan psikis seorang remaja (orang muda), termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS. Sebuah penelitian mengatakan, setiap tahun kira-kira 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi, dan hampir 100 juta terinveksi penyakit menular seksual. Secara global 40 persen dari semua kasus infeksi HIV terjadi pada kaum muda/remaja yang berusia 15-24 tahun. Perkiraan terakhir, setiap hari ada 7000 remaja di dunia terinfeksi HIV/AIDS.
Perlu diingat bahwa jumlah kaum muda/remaja yang berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30 persen dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah itu sekitar 15-20 persen dari remaja atau kaum muda usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Karena itu, benar seperti dikatakan di atas bahwa 15 juta remaja/kaum muda perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya. Dari fenomena itu perlu diketahui bahwa hingga 2007 telah tercatat sekitar 7500-an kasus AIDS dan sekitar 7300-an kasus HIV positif di Indonesia, dengan 78,8 persen dari kasus-kasus baru yang terlaporkan berasal dari usia 15-29 tahun.
Maka, tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan reproduksi di kalangan remaja atau kaum muda menjadi sangat penting. Mengapa? Masa remaja atau masa muda adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial, sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Artinya, karena faktor psikologis dan sosial yang melilit kaum muda dan/atau remaja usia tersebut, yang sekaligus juga menjadi generasi masa depan bangsa, negara termasuk Gereja, sehingga menempatkan masa ini sebagai masa transisi-kritis.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan, saat berhubungan seks pertama selalu lebih muda daripada usia ideal menikah. Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing remaja atau orang-orang usia muda untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman beralkohol, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran. Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasan berperilaku seksual yang berisiko tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk penggunaan alat kontrasepsi.
Kebutuhan dan jenis risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari anak-anak atau orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja seperti telah disinggung di atas, antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual dan kekerasan seksual. Risiko ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan gender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
Khususnya bagi remaja putri, mereka kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki. Bahkan, pada remaja di daerah pedesaan dengan budaya tertentu, haid/menstruasi pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan mereka pada risiko kehamilan dan persalinan dini.
Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada kaum muda/remaja justru adalah akibat ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orang tua yang menabukan pertanyaan remaja tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan anak. Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan orang tua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah. Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga berpengaruh.
Penelitian yang dilakukan di negara maju menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih banyak melakukan hubungan seksual pada usia yang lebih muda dibandingkan dengan remaja perempuan. Remaja yang lebih tua umurnya lebih cenderung melakukan hubungan seksual, tetapi mereka juga lebih cenderung menggunakan alat kontrasepsi. Perkembangan fisik tubuh remaja zaman sekarang lebih cepat besar, hal ini dapat dilihat dari semakin mudanya umur menstruasi pertama di kalangan remaja perempuan. Namun, perkembangan fisik yang cepat sering kali tidak diikuti oleh perkembangan mental, emosi atau kepribadian yang dewasa serta betanggung jawab. Ini yang membuat remaja wanita atau perempuan mudah jatuh dalam perilaku hubungan seksual pada usia dini.
Selain dari faktor remaja atau orang-orang muda sendiri, faktor luar juga mempengaruhi remaja untuk berperilaku berisiko berhubungan seks bebas-pra nikah. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Cooksey , seorang pengamat perilaku seksual remaja di Amerika, dikatakan faktor luar yang paling dekat dengan remaja adalah latar belakang keluarganya. Remaja yang mempunyai ibu yang melahirkan pada usia muda juga akan melakukan hubungan seksual pra nikah pada usia muda pula. Remaja yang rendah rasa percaya dirinya juga sering melakukan perbuatan yang berisiko dan cenderung untuk melakukan hubungan seks pra nikah pada usia muda.
Faktor Budaya/Pandangan Masyarakat
Perilaku remaja tidaklah terlepas dari pendefinisian masyarakat budaya tentang siapa remaja, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat. Ada masyarakat dengan tingkat budaya tertentu yang secara tidak langsung mendorong orang muda untuk terlibat dalam perilaku-perilaku yang mengarah pada risiko. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kristian Kiem pada tahun 2003, menemukan bahwa dalam masyarakat Maluku lelaki muda atau yang masih muda usia, cenderung dianjurkan untuk melakukan hubungan seks pra nikah karena dipercayai akan menunjang keberhasilan kehidupan keluarganya kelak. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh seorang peneliti pada tahun 1997, menemukan bahwa di antara kalangan orang tua yang merupakan migran di daerah Bengkulu-Sumatera yang berasal dari Jawa memiliki kebiasaan menikahkan anak perempuannya langsung setelah anak akil balik yang ditandai dengan menstruasi. Kebiasaan yang sama juga dilakukan oleh para orang tua di daerah Indramayu Jawa Barat yang mempunyai kebiasaan akan menikahkan anak perempuan mereka pada usia muda. Bahkan, di daerah Rangkas, Jawa Barat juga tercatat orang tua menikahkan anak perempuannya pada usia sangat muda pasca akil balik. Bahkan, kawin cerai di daerah Indramayu dan Rangkas, sangat tinggi. Seorang perempuan merasa bangga bila dalam usianya yang cukup muda sudah beberapa kali kawin cerai. Dan sebaliknya, seorang perempuan merasa terhina jika dalam usia di atas 20 tahun belum menikah.
Dalam penelitian lainnya, dikatakan representasi remaja laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual sekitar 5 persen sedangkan remaja perempuan yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual kurang dari 1 persen. Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang lain, maka presentase ini sangatlah kecil. Penelitian tentang keperawanan yang dilakukan di Kota Medan, di mana pandangan masyarakat Batak di Sumatera Utara terhadap kesucian hidup dan keperawanan yang mulai longgar, sekitar 27 persen remaja laki-laki (dari 463 orang) dari 7 persen remaja perempuan (dari 412 orang) mengaku sudah melakukan hubungan seksual pra nikah. Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh LD-FEUI (2002) 5 persen remaja laki-laki mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks dan 3 persen remaja perempuan, dengan remaja kota lebih tinggi persentasi yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual dibandingkan remaja pedesaan (5 persen dari 3 persen).
Berbedanya persentase remaja yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual, karena adanya rasa malu dari remaja untuk mengaku bahwa mereka pernah melakukan seks pra nikah. Ada juga terpaksa melakukan hubungan seks dengan pacarnya disebabkan oleh salah bergaul di mana merasa kurang percaya diri jika mendengar bahwa temannya yang lain pernah melakukan hubungan seks dan mereka belum melakukannya. Ada penelitian mengatakan, remaja laki-laki yang telah melakukan hubungan seks pra nikah mengaku alasan mereka melakukan hubungan seks karena mereka menyukai pasangan seksnya sebanyak 39 persen. Dari setiap 10 remaja 3 orang mengaku mereka melakukan hubungan seks pra nikah karena ingin tahu, dan hanya 1 dari 7 remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah karena tekanan dari pasangannya.
Risiko Melakukan Hubungan Seks Pra Nikah dan Kawin Muda
Kawin muda dan hubungan seks pra nikah dan hubungan seks bebas tanpa kontrol, jelas sekali memiliki risiko yang sangat tinggi, yang bukan saja menyangkut kesehatan reproduksi, tetapi juga menyangkut nasib masa depan remaja atau kaum muda itu sendiri, bahkan juga nasib bangsa dan Gereja. Kegiatan seksual yang tidak aman telah menempatkan kaum muda/remaja pada tantangan risiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi, Dan kesehatan reproduksi remaja umumnya dipengaruhi oleh kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (HIV/AIDS) dan kekerasan seksual. Di samping itu, kesehatan reproduksi juga dipengaruhi oleh gizi, kesehatan mental-psikologis, ekonomi dan ketidaksetaraan jender yang menyulitkan remaja putri menghindari hubungan seks yang dipaksakan atau seks komersial seperti pelacuran atau prostitusi.
Kehamilan. Di berbagai negara dan daerah, banyak wanita menikah dan melahirkan di masa remaja. Ini dilatari oleh berbagai faktor budaya yang melingkupinya. Kehamilan dan persalinan membawa risiko kematian (mortalitas) yang lebih besar pada remaja dibandingkan pada wanita yang berusia di atas 20 tahunan, terutama di wilayah di mana pelayanan medis sangat langka atau tidak tersedia. Remaja putri yang berusia kurang dari 18 tahun mempunyai 2 sampai 5 kali risiko kematian (maternal mortality) dibandingkan dengan wanita yang telah berusia 18-25 tahun akibat persalinan lama dan persalinan macet, perdarahan maupun faktor lain. Kegawatan daruratan yang berkaitan dengan kehamilan, misalnya tekanan darah tinggi (hipertensi) dan kurang darah (anemia) sering menyergap wanita yang melahirkan dalam usia yang sangat dini, apalagi misalnya di daerah yang kekurangan gizi.
Aborsi yang tidak aman. Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja atau orang muda sering kali berakhir dengan aborsi. Banyak survei yang telah dilakukan di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa hampir 60 persen kehamilan pada wanita di bawah usia 20 tahun adalah kehamilan yang tidak diinginkan atau salah waktu (mistimed). Di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, mahasiswi atau pelajar yang hamil seringkali mencari pelayanan aborsi agar mereka tidak dikeluarkan dari sekolah. Perlu dicatat bahwa banyak sekali kasus kematian yang disebabkan oleh tindakan aborsi yang dilakukan oleh para remaja putri karena kehamilan yang tidak diinginkan. Apalagi di banyak negara, risiko ini akan menjadi berat di mana aborsi hanya tersedia dalam keadaan yang tidak aman. Ada sebuah penelitian yang dilakukan di sejumlah negara, selama 13 tahun belakangan ini ditemukan bahwa 72 persen kematian ibu di sebuah rumah sakit, terjadi pada wanita di bawah usia 19 tahun dan disebabkan oleh komplikasi akibat aborsi yang tidak aman.
Penyakit seksual, termasuk yang paling mengerikan sekarang adalah AIDS/HIV. Infeksi penyakit menular dapat menyebabkan masalah kesehatan seumur hidup, termasuk kemandulan dan rasa sakit kronis, serta meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS. Dari hasil penelitian di sejumlah negara dan daerah, penyakit menular yang seringkali membawa kematian umumnya dialami oleh mereka yang berusia muda antara 13-20 tahun. Risiko remaja yang tertular HIV/AIDS semakin hari semakin meningkat. Infeksi baru pada kelompok wanita jauh lebih tinggi dibandingkan pada pria, dengan risiko 2 bading 1.
Tangggung jawab Terhadap Masa Depan Bangsa dan Gereja
Mengingat pertimbangan-pertimbangan tentang kedudukan kaum muda/remaja dalam masyarakat, bangsa dan Gereja secara integral, maka kelompok orang-orang muda harus mendapat porsi yang memadai dalam pembinaan. Dalam hal ini, negara dan Gereja tentu memiliki tanggung jawab yang besar dalam ”menyelamatkan” kaum muda dari perilaku negatif dan agar kaum muda/remaja tidak terjerembab ke dalam kehancuran akibat perilaku yang berisiko, seperti melakukan hubungan seks, pra nikah atau seks bebas, demi masa depan bangsa dan negara. Di samping itu, keluarga dan masyarakat juga memiliki andil yang sangat besar di dalamnya.
Tetapi, apa pun tindakan penyelamatan yang dilakukan negara dan Gereja, akan menjadi sia-sia jika kaum muda sendiri tidak memiliki kemauan yang keras untuk menjaga dan mengawasi diri dalam pergaulannya. Kaum muda sendiri harus memotivasi diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang berisiko dalam pergaulan bebas.
Perlu diingat bahwa bangsa dan negara memiliki norma-norma moral, adat istiadat yang luhur serta nilai-nilai keagamaan yang mumpuni. Perilaku seks bebas sebenarnya masih sangat tercela di tengah masyarakat kita. Hanya celakanya, orang-orang muda sendiri saat ini semakin kurang menghormati norma-norma moral, nilai-nilai agung keagamaan yang dianut Gereja dan masyarakat kita.
Maka, menjadi generasi yang bagaimanakah di masa depan jika kaum muda sendiri tidak menjaga norma-norma moral dan nilai-nilai agama lewat perilaku seks bebas-pra nikah yang berisiko? Bukankah bentuk masyarakat masa depan ditentukan oleh sosok generasi muda saat ini? Maka, generasi muda harus mengintegrasikan sifat-sifat kemudaan dalam tata hidup bersama gerejani dan masyarakat. Dalam hal ini, kaum muda dengan bantuan Gereja dan negara harus terus menerus menggalang potensi dalam dirinya dan membebaskan diri dari perilaku berisiko dengan kegiatan-kegiatan yang positif dengan menonjolkan optimisme dalam diri dan karyanya.
Untuk hal-hal yang praktis, kaum muda hendaknya dapat menghindari diri dari perilaku-perilaku negatif dengan melakukan tindakan-tindakan positif seperti mengembangkan kemampuan praktis, bakat-bakat dan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Para ahli bimbingan dan konselor dalam bimbingan dan konseling selalu mengatakan kegiatan-kegiatan yang positif bagi kaum muda dapat menghindari dirinya dari perilaku-perilaku yang negatif yang merusak moral kaum muda dan membunuh masa depannya sendiri.
Jakarta, akhir Februari 2008
*): Penulis adalah Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Pengurus Pusat Pemuda Katolik Periode 2006-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar