Senin, 31 Oktober 2011

Catatan Perjalanan Pasca Letusan Egon (1) Membaca Kedashyatan Amukan Egon


Oleh: Steph Tupeng Witin
Pater Steph Tupeng Witin
Kedashyatan semburan lahar dan abu panas Gunung Egon pada 15 April 2008 lalu begitu terasa saat memasuki Dusun Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete, Kamis (8/5). Abu Egon melaburi wilayah itu. Bau belerang masih terasa menyengat. Letusan itu telah menimpa Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara, Desa Egon dan Desa Nanga Tobong, Kecamatan Waigete. Sekretaris Karitas/Sekretaris Puspas Keuskupan Maumere, Kanisius Kasih menginformasikan bahwa sejak Egon meletus Blidit adalah kawasan yang menjadi hunian pengungsi. Saat kunjungan itu masih 8 kepala keluarga yang mengungsi. Situasi memang sudah normal. Pertanyaan, mengapa 8 kepala keluarga masih bertahan sedangkan pengungsi yang lain sudah kembali ke titik normal?

Eduardus Eting, salah seorang pengungsi mengisahkan, letusan Gunung Egon telah menghancurkan rumah, kebun dan tanaman. Mereka tidak bisa kembali lagi ke kehidupan yang semula. Jika kembali pun, mereka harus memulai lagi dari awal. Coklat, kelapa, kemiri, kopi, vanili, cengkeh dilumuri lahar panas dan abu vulkanik. “Padi dan jagung di kebun tidak bisa menghasilkan karena rata dengan tanah.
Saat letusan itu padi masih basah, belum ada isi. Wortel dan ubi rusak karena terkena lahar panas. Kami tidak bisa tinggal lagi di atas. Kami hanya pergi pulang lokasi itu sebagai kebun. Kami minta pemerintah dan pihak LSM membantu hidup dan masa depan kami. Kami kehilangan semuanya.”

Kasianus Lado, pemilik rumah yang menampung para pengungsi Gunung Egon mengatakan, sejak letusan terjadi, para pengungsi mendapatkan bantuan dari pemerintah dan LSM serta Gereja berupa beras, sarimi dan jenis-jenis bantuan pangan lainnya. Menurutnya, kesulitan paling besar adalah ketersediaan air bersih. “Memang ada oto tangki yang menghantar air ke sini setiap hari. Tapi kami jadi ragu, apakah air yang dibawa mobil itu bersih atau tidak? Di sekitar sini ada mata air yang belum dimanfaatkan oleh pemerintah. Gunung Egon ini ‘kan tetap aktif. Maka kita minta pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya letusan lagi dengan menyediakan sarana air minum yang bersih bagi warga pengungsi nanti yaitu memanfaatkan sumber mata air “ahu wair.” Kami di Blidit ini hidup dari mata air kecil “wair gu” tapi saat ini kapteringnya sudah rusak. Selama ini kami berusaha sendiri dengan membeli kaptering. Kami minta pemerintah atau pihak lain untuk membantu kami menyediakan sarana air bersih bagi hidup kami di masa yang akan datang, tidak hanya untuk pengungsi tapi juga terutama untuk warga di sekitar Blidit ini.”

Apakah benar bahwa tanaman dan rumah penduduk hancur? Benarkah bahwa kehidupan tidak lagi berjalan normal? Kami tiba di Ladan Gawat, Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara. Matahari di atas ubun-ubun. Menyengat. Lokasi itu terletak persis di bawah Gunung Egon. Kedashyatan lahar panas dan abu sangat kuat terasa di sini. Dedaunan mangga dan pisang dilumuri lahar panas. Tanaman ubi, wortel dan keladi kehilangan daun. Buah advokat terjatuh. Dahan pepohonan patah karena tidak mampu menahan beratnya lumpur panas yang basah. Sejauh mata memandang, seluruh wilayah itu dilanda lahar panas yang telah mengering. Tengik belerang terasa menusuk hidung.

Maria Tuone Lenti (25) yang tengah menggendong anaknya, Hendrika Yeli (11 bulan) dalam sarung hitam, sedang berdiri di depan rumahnya yang berdinding belahan bambu dengan dua kamar yang diseraki buah advokat. Rumah itu kokoh berdiri dan tidak sedikit pun mengalami kerusakan. Tiang-tiangnya kokoh meski sederhana. Kamar-kamarnya kosong. “Semua barang sudah dibawa ke Blidit. Sejak letusan Gunung Egon. Kami datang pagi dan sore kembali ke Blidit. Kami bawa ubi, keladi dan sayur yang kami bersihkan,” katanya. Ia selanjutnya mengisahkan kejadiaan naas malam itu saat puncak Egon mengeluarkan lahar panas cair dan abu. “Malam itu sekitar jam 10.00. Kami siap untuk tidur. Tiba-tiba kami mendengar bunyi ledakan yang kuat. Lahar basah dan abu panas turun melanda wilayah ini. Tubuh kami juga terkena abu panas. Kayu-kayu patah. Batu-batu berhamburan. Kami berlari menuju Blidit. Hanya pakaian di badan. Lumpur jatuh melekat di badan. Panas. Rambut penuh lumpur dan abu. Untung kami cepat. Kalau tidak, mungkin kami mati.”

Saat kami memasuki kebun, kerusakan dan kehancuran tanaman tidak seperti yang diinformasikan saat kami berada di Blidit. Ubi, keladi, wortel dan tanaman pangan lain tetap aman dalam tanah. Cuma tanah bagian atas dan dedaunan yang dilumuri lahar panas dan abu vulkanik. Bahkan Kanisius Kasih, Sekretaris Karitas dan Flores Pos masuk ke kebun padi dan meraba bulir padi yang tetap berisi meski merunduk karena tertimpa beban lahar panas dan abu. “Padi tetap berisi. Memang sebagian kecil rusak. Jagung tetap baik, tidak rusak. Situasinya sudah normal. Mestinya mereka segera kembali ke lokasi untuk membersihkan kebun dan ladang mereka.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar