Oleh: Stef Sumandi
Jika dinilai demikian, maka kita akan beranggapan bahwa budaya belis masyarakat Sikka sudah menempatkan perempuan sebagai barang dagangan. Tetapi kenyataan yang perlu kita ketahui bahwa orang Sikka sangat menghargai perempuan. Perempuan bukan barang! Untuk itu, kita perlu mengetahui fakta empiris berikut sebelum menarik kesimpulan secara apriori. Saya mengulas uraian sederhana ini berangkat dari budaya orang Mapitara kabupaten Sikka sebab saya telah dilahirkan dan dibesarkan menurut budaya dan adat sisti adat Mapitara. Sengaja juga saya mengulas dengan pandangan orang mapitara sebab di wilayah kabupaten Sikka terdapat ragam budaya menurut wilayah masing-masing. Wilayah Mapitara memiliki empat wilayah adat yakni Natakoli, Egon Lere, Hebing dan Hale. Dalam tataran belis, keempat wilayah adat ini memiliki satau kesatuan sistem adat.
Antropolog Universitas Gajah Mada, Hans J. Daeng dalam tulisannya tentang Adat Budaya Flores menjelaskan bahwa dalam sistem perkawinan para duda dan janda dikenal dengan istilah sororat yakni suami boleh menikah dengan saudara dari almarumah istrinya, sedangkan levirat ialah seorang janda boleh menikah dengan saudara dari suaminya yang telah meninggal dunia.
Kajian antropologis Hans J. Daeng ini juga terdapat dalam kebudayaan masyarakat Mapitara. Kenyataan yang sungguh terjadi ialah ketika seorang berstatus janda maka keluarga dari pihak suami yang meninggal harus memberi belis kepada pihak keluarga perempuan (janda) yang dikenal dengan istilah Pahar Lián Ligen Nukak dalam bentuk bahar pahar. Pahar Lián Ligen Nukak ini dibuat dengan maksud agar wanita yang berstatus janda itu dengan anak-anaknya tetap berhak mendapatkan warisan yang ditinggalkan mendiang suami dan agar hubungan keluarga dari kedua belah pihak tetap terjalin. Sebab jika seorang janda bersama anaknya tidak di-pahar maka ia akan kembali ke keluarga orangtuanya lalu tidak mendapatkan hak warisan dari mendiang suami dan hubungan kekeluaragaannyapun putus.
Dalam adat Mapitara atau adat Sikka secara umum, sebenarnya tidak seorangpun memaksa sang janda untuk menikah tanpa cinta dengan saudara dari almahrum suami dengan alasan apapun. Seorang janda dalam keberadaanya ketika sudah di-pahar akan memiliki kebebasan untuk memilih, entah menikah lagi atau tetap menjanda, entah mau menikah dengan orang lain di luar hubungan keluarga mantan suami atau menikah dengan saudara almahrum suaminya. Jika ia memilih untuk tetap menjada atau menikah dengan orang lain maka statusnya disebut sebagai Winen Klain oleh saudara dari almahrum suaminya. Winen klain artinya saudari istimewa sebab keberadaannya sebagai saudari bukan berdasarkan hubungan darah.
Tetapi apabilah yang bersangkutan memilih untuk menikahi saudara dari mendiang suami maka disebut sebagai Poron Bego Sedon Walong, Atan Dadak Taker Heluk, Abo Lián Bekat Men. Makna dari ungkapan ini bermaksud agar keberadaan sang janda bersama anak-anaknya ada pihak/seorang yang bertanggung jawab secara khusus soal keberadaan mereka sebagai sebuah keluarga yang sempurna, tetapi bukan karena paksaan melainkan berdasarkan rasah cinta. Hubungan suami istri antara janda dengan saudara almarhum suaminya tidak wajib terjadi dengan tidak membedakan belis sebelumnya entah lunas atau belum lunas. Sang janda tetap memiliki kebebasan untuk memilih yang terbaik baginya.
Akan tetapi jika terjadi kawin paksa maka, hal itu menjadi pelanggaran terhadap budaya masyarakat Mapitara yang luhur tersebut bahkan melanggar hak atas kebebasan hidup sang janda. Kepada mereka yang dipaksakan untuk kawin/menikah harus melaporkannya kepada pihak berwajib agar diproses sesuai hukum yang berlaku di wilayah NKRI. Dalam budaya masyarakat Mapitara, masalah seperti ini disampaikan kepada dua moan watu pitu/ tokoh adat untuk diselesaikan sesuai hukum adat yang berlaku di wilayah itu. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat kaum perempuan agar tidak direndahkan.
Kalimat dua moan watu pitu jika dikembangkan lebih lanjut maka akan dibentuk kalimat majemuk setara berikut: Dua Kula Ganu Wulan, Moan Kara Ganu Lero. Maksudnya dalam musyawarah perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk berpendapat. Perempuan (duá) diibaratkan sebagai bulan dan laki-laki (moan) sebagai matahari. Dalam adanya, bulan (duá) dan matahari (moán) memiliki peran yang sama untuk memberi jalan, solusi, terang meski berbeda seturut kodrat seksus/gendernya masing-masing.
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa dalam kebudayaan masyarakat Mapitara, perempuan sangat dihargai keberadaannya sebagai manusia. Manusia bukan barang. Maka oleh orang Mapitara, status perempuan tetap manjadi subyek yang tidak dapat disamakan dengan barang. Perempuan tidak menjadi objek bisnis kaum patrialis dalam sistem perbelisan. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi kita semua dalam memahami peran perempuan dan budaya perkawinan para janda di wilayah Sikka.
Alinea pembuka “demi kelestarian budaya belis, sejumlah janda di wilayah kabupaten Sikka, Flores NTT rela menikahi tanpa cinta adik mantan suami mereka. Alasannya emas kawin atau belis (beli isteri?) sudah lunas.
Opini berjudul “Bias Gender Konsep HAM” pada Pos Kupang tanggal, 22 Januari 2011 yang ditulis oleh Otto Gusti, dosen Etika Sosial STFK Ledalero itu sontak membuat nurani saya terpenggal di atas cakrawala berpikir yang tidak total. Sesungguhnya kesan tersebut muncul lantaran alinea ini membuat banyak orang menilai bahwa orang Sikka telah mengubah nilai belis dalam seremonial adat perkawinan menjadi objek komersialisasi terhadap wanita. Tulisan itu mengarahkan pemahaman bahwa perempuan dalam ranah budaya belis di Sikka sudah menjadi “barang dagangan”.
Opini berjudul “Bias Gender Konsep HAM” pada Pos Kupang tanggal, 22 Januari 2011 yang ditulis oleh Otto Gusti, dosen Etika Sosial STFK Ledalero itu sontak membuat nurani saya terpenggal di atas cakrawala berpikir yang tidak total. Sesungguhnya kesan tersebut muncul lantaran alinea ini membuat banyak orang menilai bahwa orang Sikka telah mengubah nilai belis dalam seremonial adat perkawinan menjadi objek komersialisasi terhadap wanita. Tulisan itu mengarahkan pemahaman bahwa perempuan dalam ranah budaya belis di Sikka sudah menjadi “barang dagangan”.
Jika dinilai demikian, maka kita akan beranggapan bahwa budaya belis masyarakat Sikka sudah menempatkan perempuan sebagai barang dagangan. Tetapi kenyataan yang perlu kita ketahui bahwa orang Sikka sangat menghargai perempuan. Perempuan bukan barang! Untuk itu, kita perlu mengetahui fakta empiris berikut sebelum menarik kesimpulan secara apriori. Saya mengulas uraian sederhana ini berangkat dari budaya orang Mapitara kabupaten Sikka sebab saya telah dilahirkan dan dibesarkan menurut budaya dan adat sisti adat Mapitara. Sengaja juga saya mengulas dengan pandangan orang mapitara sebab di wilayah kabupaten Sikka terdapat ragam budaya menurut wilayah masing-masing. Wilayah Mapitara memiliki empat wilayah adat yakni Natakoli, Egon Lere, Hebing dan Hale. Dalam tataran belis, keempat wilayah adat ini memiliki satau kesatuan sistem adat.
Ata Dua Wai Lora Lin Mole Lora Welin
Sistem perbelisan yang dilaksanakan di wilayah Mapitara sungguh ada karena dalam lingkup pemahaman orang Mapitara bahwa seorang perempuan mempunyai martabat, harga diri, subyek yang berhak mendapatkan cinta. Cinta itu terwujud melalui pengamalan hidup manusia Sikka yang sangat mencintai eksistensi perempuan melalui banyak hal temasuk budaya belis. Belis sesungguhnya bukan membeli perempuan karena perempuan itu manusia dan memiliki harga diri yang lebih agung ketimbang barang-barang belis.
Belis harus dipahami dalam makna pertama mempererat hubungan kekeluargaan antara pasangan suami istri. Hal ini dibuktikan oleh orang Mapitara pada saat keluarga laki-laki menghantar belis (berupa gading, kuda uang dan lain-lain), pihak keluarga perempuanpun membalas dengan memberikan sejumlah barang (berupa babi, beras, sarung, dan lain-lain) yang nilainya seimbang dengan pemberian pihak laki-laki. Kenyataan ini mau menunjukkan terjadi komunikasi saling menghargai antara kedua keluarga besar serentak mengikat hubungan kekeluargaan yang dipertemukan oleh pasangan suami istri. Di sini terlihat jelas bahwa relasi cinta antara suami dan istri terjalin secara bebas atau tanpa ada hubungan jual beli. Manusia perempuan memiliki hak untuk hidup bebas sebagaimana layaknya laki-laki. Maka, perempuan dalam budaya belis masyarakat Sikka sesungguhya memiliki martabat, harga diri sebagaimana layaknya seorang manusia.
Kedua, belis memiliki nilai sebagai penghargaan kepada perempuan. Demikianpun balasannya dapat dilihat sebagai sebuah penghargaan terhadap keluarga laki-laki. Akan tetapi jika belis dan balasannya telah dipaksakan dengan ukuran kuantitas tertentu lalu harus dibayar pada saat yang sama untuk memuluskan hubungan ke jenjang sakramen perkawinan maka nilai penghargaan dalam belis telah berubah menjadi objek bisnis. Orang Mapitara menyebut secara bijak dengan mengatakan “Goa Daá Ribang Nopok, Minu Daá Koli Tokar” yang berarti pemberian belis kepada pihak perempuan dan balasan kepada bihak laki-laki akan berjalan terus sepanjang manusia masih ada.
Tidak Rela
Laporan Otto pada tulisannya tergambar bahwa sejumlah janda di wilayah Sikka telibat dalam kerelaan yang sesungguhnya bertentangan dengan konsep dan praktek HAM yang diuraikan panjang lebar dalam tulisan Otto.
Antropolog Universitas Gajah Mada, Hans J. Daeng dalam tulisannya tentang Adat Budaya Flores menjelaskan bahwa dalam sistem perkawinan para duda dan janda dikenal dengan istilah sororat yakni suami boleh menikah dengan saudara dari almarumah istrinya, sedangkan levirat ialah seorang janda boleh menikah dengan saudara dari suaminya yang telah meninggal dunia.
Kajian antropologis Hans J. Daeng ini juga terdapat dalam kebudayaan masyarakat Mapitara. Kenyataan yang sungguh terjadi ialah ketika seorang berstatus janda maka keluarga dari pihak suami yang meninggal harus memberi belis kepada pihak keluarga perempuan (janda) yang dikenal dengan istilah Pahar Lián Ligen Nukak dalam bentuk bahar pahar. Pahar Lián Ligen Nukak ini dibuat dengan maksud agar wanita yang berstatus janda itu dengan anak-anaknya tetap berhak mendapatkan warisan yang ditinggalkan mendiang suami dan agar hubungan keluarga dari kedua belah pihak tetap terjalin. Sebab jika seorang janda bersama anaknya tidak di-pahar maka ia akan kembali ke keluarga orangtuanya lalu tidak mendapatkan hak warisan dari mendiang suami dan hubungan kekeluaragaannyapun putus.
Dalam adat Mapitara atau adat Sikka secara umum, sebenarnya tidak seorangpun memaksa sang janda untuk menikah tanpa cinta dengan saudara dari almahrum suami dengan alasan apapun. Seorang janda dalam keberadaanya ketika sudah di-pahar akan memiliki kebebasan untuk memilih, entah menikah lagi atau tetap menjanda, entah mau menikah dengan orang lain di luar hubungan keluarga mantan suami atau menikah dengan saudara almahrum suaminya. Jika ia memilih untuk tetap menjada atau menikah dengan orang lain maka statusnya disebut sebagai Winen Klain oleh saudara dari almahrum suaminya. Winen klain artinya saudari istimewa sebab keberadaannya sebagai saudari bukan berdasarkan hubungan darah.
Tetapi apabilah yang bersangkutan memilih untuk menikahi saudara dari mendiang suami maka disebut sebagai Poron Bego Sedon Walong, Atan Dadak Taker Heluk, Abo Lián Bekat Men. Makna dari ungkapan ini bermaksud agar keberadaan sang janda bersama anak-anaknya ada pihak/seorang yang bertanggung jawab secara khusus soal keberadaan mereka sebagai sebuah keluarga yang sempurna, tetapi bukan karena paksaan melainkan berdasarkan rasah cinta. Hubungan suami istri antara janda dengan saudara almarhum suaminya tidak wajib terjadi dengan tidak membedakan belis sebelumnya entah lunas atau belum lunas. Sang janda tetap memiliki kebebasan untuk memilih yang terbaik baginya.
Akan tetapi jika terjadi kawin paksa maka, hal itu menjadi pelanggaran terhadap budaya masyarakat Mapitara yang luhur tersebut bahkan melanggar hak atas kebebasan hidup sang janda. Kepada mereka yang dipaksakan untuk kawin/menikah harus melaporkannya kepada pihak berwajib agar diproses sesuai hukum yang berlaku di wilayah NKRI. Dalam budaya masyarakat Mapitara, masalah seperti ini disampaikan kepada dua moan watu pitu/ tokoh adat untuk diselesaikan sesuai hukum adat yang berlaku di wilayah itu. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat kaum perempuan agar tidak direndahkan.
Peran Duá Moán Watu Pitu/ Tokoh Adat
Selain belis dan perkawinan, di wilayah Sikka dikenal dengan duá moán watu pitu. Ketika menyebut duá moán watu pitu tersontak kesadaran kita bahwa meski orang Sikka menganut sistem patrilineal namun tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Dalam kalimat majemuk duá moán watu pitu, kata duá (perempuan) ditempatkan pada awal kalimat mau menunjukkan wanita punya peran penting dalam tata kemasyarakatan orang Mapitara. Bahwa perempuanpun mempunyai hak yang sama dalam segala bidang kehidupan termasuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang berdasarkan musyawarah dan mufakat.
Kalimat dua moan watu pitu jika dikembangkan lebih lanjut maka akan dibentuk kalimat majemuk setara berikut: Dua Kula Ganu Wulan, Moan Kara Ganu Lero. Maksudnya dalam musyawarah perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk berpendapat. Perempuan (duá) diibaratkan sebagai bulan dan laki-laki (moan) sebagai matahari. Dalam adanya, bulan (duá) dan matahari (moán) memiliki peran yang sama untuk memberi jalan, solusi, terang meski berbeda seturut kodrat seksus/gendernya masing-masing.
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa dalam kebudayaan masyarakat Mapitara, perempuan sangat dihargai keberadaannya sebagai manusia. Manusia bukan barang. Maka oleh orang Mapitara, status perempuan tetap manjadi subyek yang tidak dapat disamakan dengan barang. Perempuan tidak menjadi objek bisnis kaum patrialis dalam sistem perbelisan. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi kita semua dalam memahami peran perempuan dan budaya perkawinan para janda di wilayah Sikka.
*Penulis: Warga Desa Natakoli Kecamatan Mapitara.
Ulasan yang menarik mengenai masalah mas kawin (belis) pada masyarakat Mapitara.Pertanyaannya adalah: perlukah adat itu dipertahankan atau diubah dan disesuaikan dengan keadaan? Itu terpulang kepada masyarakat yang menjalaninya sendiri. Karena bagaimana pun juga adat adalah "roda kehidupan masyarakat"...(Ans)
BalasHapus