Minggu, 06 November 2011

Sentralisasi, Komersialisasi dan Idealisme Pendidikan Kita

Oleh: Stef Sumandi
nttonlinenews.com
Kapankah sentralisasi pendidikan kita akan berakhir? Kapan kita dapat membedakan sekolah dengan pasar? Apa idealisme pendidikan kita? Pertanyaan-pertanyaan ini sering menggerogoti dunia pendidikan, ketika kita berpikir untuk membenah kualitas pendidikan kita dewasa iniSaturday, 24 April 2010

Tulisan sederhana ini bukan untuk menjawab pertanyaan - pertanyaan tersebut tetapi mrncoba mengungkap berbagai gejala komersialisasi dan sentralisasi seputar pendidikan kita serentak menjadi pertanyaan yang berdurasi dalam sistem komersialisasi dan sentralisasi.

Entah sadar atu tidak, otonomi pendidikan kita di republik Indonesia belum terwujud secara penuh. Sentralisasi pendidikan sangat menonjol yang diwarnai oleh system kurikulm yang diatur secara nasional tanpa memperhatikan aspek local yang merupakan nadi dari otonomi pendidikan kita. Senada dengan itu, seleksi keberhasilan para siswapun diatur secara nasional. Padahal apabila dikaji lebih dalam bahwa  kelulusan para siswa seharusnya tidak hanya ditentukan oleh beberapa butir soal nasional yang hanya menilai aspek kognitif sedangkan aspek psikomotorik dan afeksi para siswa diabaikan begitu saja.

Akibat dari system sentralisasi ini, tak jarang ada siswa yang lulus secara kebetulan. Banyak bidang studi yang bukan mata pelajaran ujian nasional yang menekankan aspek lokal, seperti muatan lokal, budi pekerti, olah raga, kesenian, dan lain-lain, seringkali dikesampingkan oleh para siswa karena dirasa tidak penting sebab bukan jaminan untuk lulus dari sekolah. Hasilnya orang sekolah hanya untuk lulus ujian nasional (UN).

Dalam nada yang sama, pemerintah pada tahun-tahun kemarin membolehkan para siswa yang tidak lulus Ujian Nasional reguler untuk mengikuti UNPK (Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan) dengan kondisi yang sangat lemah dalam pengawasannya.

Lalu pemerintah merasah lebih terhormat tatkala para siswa lulus semua lewat UNPK sambil mendiskreditkan sekolah-sekolah yang  lulusannya rendah. Dimanakah non scolae set vitae dicimusnya? Mudah-mudahan ujian ulang yang direncanakan pemerintah pada bulan Mei 2010 mendatang, tidak luput dari pengawasan yang prima.

Sistem sentralistik yang dibangun pemerintah dalam bidang pendidikan kita akan berimbas pada output yang hanya mampu “menghafal” tetapi tidak mampu melakukan sesuatu karena membungkam kreativitas anak didik dalam ranah psikomotorik. Hal ini dilatari oleh kurikulum yang begitu padat dengan materi teoritis sehingga tidak memberikan ruang dan waktu kreasi   bagi para peserta didik dalam bidang psikomotorik.

Anak juga akan tidak menjadi solider terhadap sesamanya dalam ranah afeksi karena anak hanya dididik meningkatkan kompetensi intelektual  serentak mengabaikan afeksi dan psikomotorik yang menekankan hidup bersama dalam istilah Ivan Illich.

Dalam kondisi sentralisasi yang belum tuntas diskusi, hadir wajah komersialisasi dalam dunia pendidikan. Di jaman yang semakin maju dengan beradaban budaya ini, masih ada orang yang belum bisa membedakan pasar dengan sekolah, pendidikan dengan bisnis. Mochtar Buchori mencatat gejala komersialisasi pendidikan kita  terdapat pada sekolah-sekolah  yang menyajikan pelayanan pendidikan  yang  tidak sepadan dengan uang sekolah yang dipungut.

Menurut Mochtar Buchori, hal ini berlaku bagi sekolah-sekolah yang mahal maupun bagi sekolah yang biaya pendidikan  rendah. Di sekolah seperti ini “laba” atau “selisih anggaran” tidak  ditanamkan kembali ke dalam  infrastruktur pendidikan melainkan dipergunakan  untuk “memperkaya” atau “menghidupi” pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam pelayanan pendidikan di Sekolah.

Pihak-pihak seperti ini ialah anggota yayasan dan atau badan amal yang mengurusi  atau menguasai suatu  kelompok  sekolah.  Lebih  mementingkan pengurus  yayasan dari pada kesejahteraan para  guru  dan murid (Mocthar  Buchori, Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Jaman, Jakarta : kanisius 2001). Kita saksikan sekarang ada banyak sekolah  yang didirikan oleh berbagai kelompok orang dengan kekhasan masing-masing tetapi sayangnya sekolah-sekolah bahkan kampus-kampus perguruan tinggi  yang hanya sebagai ladang bisnis.

Hal ini menggejala lewat ketiadaan fasilitas pendidikan yang memadai seperti ruangan kelas, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain.  Sementara uang sekolah sangat mahal bahkan sudah bertahun-tahun.

Lebih parah lagi, ada berbagai lembaga pendidikan reguler yang sengaja mendirikan kelas jauh di mana-mana meskipun telah dilarang oleh pemerintah melalui  mendiknas lewat surat edaran  21 Oktober 1997 nomor 2559/D/T/97 dan  Dirjen Dikti melalui suratnya tanggal 8 Maret 2006 nomor 861/D/T/2006 yang menegaskan bahwa ”kelas jauh” adalah kegiatan perkuliahan di luar kampus yang tidak dibenarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Depdiknas.

Gejala komersialisasi dan sentralisasi pendidikan di atas, akan berdampak pada rendahnya kinerja para pengajar, kreativitas peserta didik akan  mandek lantaran ketiadaan sarana dan prasarana pendidikan, ketiadaan waktu untuk belajar berkreasi karena dipadati oleh kurikulum yang hanya mengutamakan aspek intelektualisme ketimbang psikomotorik dan afeksi. Kita lihat saja, anak-anak sekolah kita sekarang lebih dibebankan dengan materi teoritis di kelas dengan sistem belajar pagi dan sore yang sangat padat hanya karena untuk lulus Ujian Nasional.

Kapan mereka belajar berkreasi? Kapan mereka belajar hidup bersama di dalam keluarga dan masyarakat? Kapan mereka merasahkan jati diri mereka sebagai seorang anak yang bebas berkreasi? Bukankah kita sudah melanggar hak anak?  Dampak lain dari realita komersialisasi dan sentralisasi pendidikan tersebut  akan menghasilkan sumber daya manusia yang kehilangan prinsip hidup misalnya dalam pandangan  Paulo Freire sebagaimana dirangkum oleh Y. B. Mangunwijaya berikut: pertama, prinsip cinta kasih. Kedua, kerendahan hati. , Ketiga, percaya pada manusia, percaya pada kreatifitas dan daya-daya penyembuhan anak didik atau kawan didik.

Keempat, realitas kepercayaan yang menuntut sikap saling terbuka antar sesama. Kelima, membangkitkan keberanian yang kritis di tengah kemapanan sosial (civil courage),  Keenam, mengidentifikasi hakikat masalah (problemstelung) penentuan independent (status quaestionis) sebagai syarat aktivitas yang membebaskan juga mendukung otonomi anak didik. (Y.B. Mangunwijaya, dalam Sindhunata, dalam Sindhunata, Ibid).

Dalam menghadapai tantangan sentralisasi dan komersialisasi, tentu kita bertanya apa idealisme pendidikan kita? Dalam konteks penjajahan, Kihajar Dewantara  merumuskan idealisme pendidikan kita dalam tatanan masyarakat Indonesia yang bebas dan tidak terbelengu oleh kolonialisme.

Dalam tatanan manusia Indonesia,idealisme yang ingin digapai dalam pendidikan kita tentunya untuk membentuk  manusia yang berjiwa Pancasila. Model manusia Pancasila itu antara lain, manusia religius  yang menyadari  keterbatasannya di hadapan Yang Maha Sempurna.  Manusia yang beradab serta mampu bersikap adil terhadap sesama.

Manusia yang mencintai persekutuan dalam persaudaraan sejati. Manusia yang mampu berkomunikasi dengan  sesama secara  demokratis  dalam etika politik.  Manusia yang sangat menyadari akan adanya persamaan hak dan kewajiban dalam dimensi keadilan sosial.

Idealisme pendidikan kita ini, digambarkan juga secara ringkas dalam  penjelasan atas undang-undang republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagai berikut:

“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf)

Gambaran pendidikan manusia  tersebut merupakan  idelisme pendidikan kita, akan tetapi bukan berarti  nasionalisme yang kita cita-citakan harus mengerucutkan pluralisme yang kita miliki.

Seharusnya kurikulum nasional yang dikaji pemerintah secara nasional perlu memberikan ruang yang cukup untuk untuk pengembangan manusia indonesia secara utuh dalam kesatuan kualitas kognitif, afeksi, psikomotorik juga ada ruang inkulturasi program nasional dengan kearifan lokal di setiap daerah.

Sebab sesungguhnya, nilai-nilai pancasila  pada  dasarnya lahir dari  kearifan lokal masyarakt Indonesia. Sumber kearifan lokal ini juga akan membentuk manusia Pancasila yang berpengetahuan, berketerampilan dan berbudi pekerti.

Lalu bila perlu penilaian kelulusan para siswa dikembalikan kepada setiap satuan pendidikan. Hal ini penting karena yang mengetahui betul tentang kelulusan siswa dari sebuah satuan pendidikan bukan pemerintah yang hanya lewat beberapa butir soal itu tetapi para pendidik yang setiap hari mendidik dan membesarkan para siswa.

Akan tetapi hal ini hanya mungkin kalau setiap pelaku pendidikan di masing-masing satuan pendidikan yang ada di Indonesia menyadari sungguh tentang hakekat pendidikan dan kualitas manusia.

Di sisi lain perlu juga dibangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan yang bebas dari komersialisasi.  Bila kita menyadari hal ini maka tidak mungkin pendidikan disentralisir dan diperdagangkan. Bagaimana? Penulis adalah aktivis pendidikan, warga Desa Natakoli Kecamatan Mapitara Kabupaten Sikka NTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar