Selasa, 08 November 2011

Pendidikan Karakter ala Dialog Sokrates

nttonlinenews.com
Saturday, 18 June 2011 12:18  
Oleh Stef Sumandi


Headline  Pos Kupang 3 Mei 2011 menyajikan perintah gubernur NTT Frans Leburaya agar “budayakan pendidikan karakter”. Kata gubernur bahwa keberhasilan pendidikan kita tidak hanya pada peningkatan prestasi ujian nasional tetapi juga pada karakter yang baik yang ditampilkan manusia produk pendidikan itu. Sekilas membaca berita itu, penulis sangat setujuh dengan pendapat sang gubernur yang juga berlatarbelakang pendidikan guru dan perna menjadi guru.

Tentang Dialog Sokrates
Nama Sokrates tentu tidak asing lagi bagi pencinta ilmu pengetahuan. Sokrates pernah hidup di Yunani antara tahun 470-399 SM. Meskipun menurut kesan Plato dan para murid lainnya bahwa sokrates adalah orang yang paling bijaksana pada jamannya, namun Sokrates tetap menganggap diri hanya sebagai pencinta kebijaksanaan ketimbang orang bijaksana. Lalu apa yang dilakukan Sokrates sebagai seorang pencinta kebijaksanaan?

Awal dari semua tentang Sokrates perlu diakui bahwa Sokrates adalah orang yang sangat menghargai eksistensi kemanusiaan manusia. Kenyataan ini dibuktikan oleh sokrates dengan bergaul tanpa batas. Ia bergaul dengan semua orang. Ia mengenal semua yang dijumpai bahkan seluruh latar belakang hidup mereka. Keunggulan sokrates mengenal sesamanya yang lain dengan methode dialog, maieutik. Lewat dialog, Sokrates tampil sebagai bidan yang siap membantu melahirkan berbagai ide yang ada dalam benak rekan dialog. 

Sokrates mencoba secara bertahap membedah pengetahuan partner dialog sambil memberi kesadaran tentang pencarian akan kebenaran sesungguhnya. Di sinilah letak keterbukaan Sokrates sebagai pendidik yang membuka jalan pemikiran kristis bagi partner dialog. Jalan pemikiran kritis lewat dialog ini sesungguhnya bertujuan untuk mencari kebenaran objektif yang berlaku untuk selama-lamanya. 

Fokus kebenaran tidak lagi menjadi milik Sokrates melainkan sesuatu yang mesti dicari secara bersama oleh setiap pencinta kebenaran melalui dialog. Proses pencarian kritis yang dilakukan Sokrates dengan cara induktif dimana dilakukan perbandingan kritis akan dua hal  lalu ditemukan apa yang disebut defenisi sebagai kebenaran yang memberi pengertian. 
 
Berkaitan dengan karakter, bagi Sokrates, budi ialah tahu. Tentu saja budi berhubungan dengan perbuatan baik. Maka menurut Sokrates, kejahatan hanya datang dari orang yang tidak menegetahui, orang yang tidak mempunyai pertimbangan yang benar. Orang yang tahu tidak mungkin berbuat jahat. Kejahatan terjadi hanya karena kebodohan. Sokrates menambahkan, orang yang tahu akan kebaikan mesti pandai menguasai diri baik dalam suka maupun duka untuk memperoleh kabahagiaan hidup dalam kebenaran. Meski demikian, Sokrates masih tetap mengakui bahwa manusia itu pada dasarnya baik. (bdk. Muhammad Hatta, Alam Pemikiran Yunani, 1980)

Tentang  Living Values 
Pada tulisan sederhana ini penulis ingin mengulas pentingnya kesadaran bersama tentang peran kita dalam pendidikan karakter atau pendidikan nilai atau yang dikenal dengan caracter building living values education. Pembangunan karakter dengan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan. Fidelis E. Waruwu, dosen Psikologi Universitas Tarumanegara Jakarta pada sebuah kesempatan diskusi di Maumere kabupaten Sikka, membawakan materi berjudul Membangun Budaya Sekolah Dengan Metode Living Values. Menurut Fidelis, sesungguhnya setiap orang memiliki dalam dirinya nilai-nilai yang membuat dia hidup. Itulah yang disebut nilai-nilai kehidupan (living values).

Tentu saja nilai-nilai itu ada dalam diri manusia, karena manusia adalah makhluk “spiritual” yang dari kodratnya sudah selalu terarah pada sesuatu yang “abadi” dan merindukan suasana yang penuh “kasih sayang” dan “kedamaian.” Oleh karena itu, akar nilai itu sebenarnya ada dalam kodrat manusia. Itulah yang menjadi semacam kekuatan batiniah (inner power) yang melahirkan nilai-nilai lainnya. Sejak manusia lahir  telah memiliki nilai-nilai universal itu, yang merupakan pancaran kekuatan batinia. Living Value itu bernilai jika manusia memberikan kepada sesamanya.

Menurut Fidelis, ada lima kebutuhan dasar manusia yang menjadi wujud pengakuan lewat pelayanan kita akan yang lain yakni: rasah aman, rasah bernilai, dihargai, dipahami dan dicintai. Namun, keadaaan itu berubah seturut pembentukan kepribadian manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Riilnya sumber masalah itu terurai dalam berbagai hal antara lain: meningkatnya konsumerisme dan kekerasan yang disajikan media massa; Makin sedikit orang tua untuk berintereaksi dengan anak-anak akibatnya anak-anak mengalami kemerosotan ketrampilan sosial; terjadinya perubahan nilai-nilai budaya dan spiritual akibatnya masyarakat kita mengalami kemerosotan nilai; Masyarakat melegitimasi ekspresi yang berkaitan dengan kekerasan; Perasaan terluka, kesepian, keterasingan dan kekerasan menjadi umum dialami oleh anak-anak, remaja dan orang dewasa.  

Untuk mengatasi kondisi di atas, menurut Fidelis, harus dilakukan perubahan secara simultan pada tiga lapisan yakni keluarga, sekolah dan masyarakat dengan pendidikan kontrol diri yang harus dibuat melalui pemberdayaan inner power, suara hati dalam diri setiap orang  sebab di sana bersemayam kekuatan living values.

Pendidikan Karakter
Tentang karakter, Fidelis Waruwu dan Sokrates mengemukakan hal yang sama bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan dengan kendisi baik adanya. Di dalamnya terdapat kekuatan batiniah yang menggerakkan manusia untuk senantiasa berbuat baik. Karena itu menurut penulis, sesungguhnya untuk meningkatkan pendidikan karakter hanya perlu metode. Berkaitan dengan metode ini, sebelumnya penulis telah menggambarkan bagaimana guru sofis maupun guru sokrates. Bagi penulis, sesungguhnya model yang dikembangkan dengn mengikuti metode sokrates. Pendidikan mesti dilaksanakan dengan sebuah sistem dialog bukan ceramah. Dalam dialog, pendidik  mampu membedah kekuatan batiniah dalam diri peserta didik untuk mengungkapkan karakter diri yang termuat dalam diri manusia sejak lahir. 

Dialog ini dilakukan dengan cara verbal maupun non verbal. Dialog verbal dilakukan dengan cara komunikasi menggunakan bahasa lisan (baca:bahasa verbal). Dialog verbal dilakukan melalui ceramah, peringatan, pesan dan lebih istimewah lagi ialah  stimulus-stimulus yang menggugah anak didik untuk berpikir lalu menemukan solusi secara mandiri terhadap   persoalan yang sedang dibahas bersama. Akan tetapi dialog verbal ini belum lengkap, karena itu perlu ditunjukkan pada dialog non verbal dalam bentuk tindakan. Tokoh yang tampil sebagai pendidik dalam dialog ini ialah orangtua dalam keluarga, guru di sekolah, pemerintah dan masyarakat umum.

Pertama, orangtua. Untuk meningkatkan karakater anak yang baik sesungguhnya harus dimulai dari rumah. Rumah tangga yang aman dan damai akan membesarkan anak yang memiliki karakter pencinta damai. Sebaliknya jika rumah tangga yang setiap hari dirundung keributan maka jangan heran kalau anak menjadi pengacau.

Kedua guru. Disiplin di sekolah sesungguhnya tercipta melalui sikap dan tindakan para guru. Dalam diri anak sesungguhnya telah tertanam kekuatan bathin akan hal-hal yang baik tinggal saja para guru melalui tindakkannya membangkitkan kekuatan itu dari dalam diri peserta didik. Di sini kita butuh teladan. Contoh kecil: Jika guru selalu datang terlambat ke sekolah, maka mustahil siswa datang lebih awal.  

Ketiga pemerintah. Pemerintah sesungguhnya menjadi tokoh pendidik umum. Jika pemerintah memberi contoh yang baik dalam pelayanan maka jelas masyarakat (baca: anak-anak) pun akan berkembang dengan baik. Contoh kecil: pada bulan Maret tahun 2011 ini pemerintah melalui dinas PPO propinsi NTT mengadakan paket soal try out untuk siswa/siswi sekolah menengah yang dikerjakan dengan menggunakan lembaran jawaban dengan sistem komputerisasi. Lalu kapada peserta didik disampaikan bahwa setelah dikerjakan akan diperiksa kemudian dikembalikan kepada peserta didik. Tetapi yang terjadi, hasil ujian itu mengendap di dinas PPO kabupaten, tidak diperiksa dengaan alasan tidak ada uang. Bukan hanya itu, masih ada banyak kejadian lain. 

Pertanyaannya, pendidikan karakater mana yang maum dibudayakan? Bukankah ini karakter buruk yang ditanamkan dalam diri anak? Dimana nilai kerja sama antara pemerintah propinsi penyedia soal dan pemerintah kabupaten pemerikasa soal? Manakah budaya pendidkan karakternya? Maka jangan heran kalau setiap tahun NTT selalu menempati posisi buntut dalam urutan kualitas pendidikan nasional karena memang hal-hal penting seperti ini tidak diperhatikkan.  

Keempat masyarakat. Peran masyarakat dalam pendidikan karakterpun sangat penting. Budaya kolusi, korupsi dan nepotisme yang sering tarjadi dimasyarakat lalu didukung oleh kelemahan penegakan hukum sebenarnya menanamkan karakter buruk dalam diri anak-anak kita.

Jadi, jika ingin menanamakan pendidikan nilai dalam diri manusia muda maka harus melalui dialog secara verbal lewat pembicaraan maupun non verbal melalui sikap dan tindakan. Usaha ini bukan hanya terjadi di sekolah tetapi melibatkan empat komponen besar yakni orangtua, guru, pemerintah dan masyarakat. Bagaimana?****

Penulis adalah aktivis pendidikan, warga Desa Natakoli Kecamatan Mapitara Kabupaten Sikka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar