Jumat, 03 Juni 2011

Tingkatkan Mutu Guru, Upayakan Pendidikan Nilai

Oleh: Stef Sumandi
Siswa kelas enam Dekolah Dasar (SD) se-Indonesia saat ini sedang menantikan berita hasil UASBN tahun 2011. Biasanya Setiap tahun setelah lulus SD banyak siswa melanjutkan ke jenjang sekolah menengah.

Sahabat saya pernah berkisah begini: Sebagai seorang guru sekolah menengah, kadang saya merasah perih dengan berbagai kondisi peserta didik saat ini. Perih karena banyak anak yang sesungguhnya belum siap untuk masuk sekolah menengah.

Ceritera pendek itu, mengurai pertanyaan dalam diri saya. Bagaimana dengan dasar di NTT saat ini? Bagaimana mutu tenaga pendidik dan kependidikan Sekolah Dasar kita? Bagaimana mutu pendidikan Sekolah Dasar kita? Apa sebabnya? Bagaimana solusinya? Mungkin ulasan sederhana berikut ini, sedikit memberi sumbangan buat mengobati keperihan di masa mendatang yang juga dialami oleh rekan-rekan saya seprofesi.

Rendahnya mutu pendidikan SD saat ini belum menjadi masalah yang disadari bersama. Relita itu dapat dilihat dari rendahnya rata-rata nilai UASBN murni untuk semua bidang studi yang diujikan juga ketidaksiapan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah. Sebagai contoh, secara nasional, pada tahun 2009/2010 rendahnya mutu pendidikan jenjang SD di Kabupaten Sikka-NTT menempati urutan pertama dari semua kabupaten/kota di seluruh kabupaten Se- Indonesia.(RM. Fidelis Dua, Pr. MTh, 2011, hal. 3).

Hemat saya, masalah tersebut bersinggungan langsung dengan keadaan SD-SD di NTT. Pembangunan sekolah  di NTT masih berfokus pada ranah fisik. Padahal pengembangan non-fisik jauh lebih penting, karena salah satu tujuan utama sekolah adalah menghasilkan anak didik  yang  bermutu. Pengembangan non fisik antara lain penerapan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dan pemberlakuannya berdasarkan standar isi. Standar isi ini lebih menekankan pada proses pembelajaran yang didasarkan pada kompetensi tertentu yang harus dicapai oleh peserta didik. Melalui standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta didik pada jenjang pendidikan di SD perlu dinilai secara lebih komprehensif dengan pemberdayaan guru. Peran guru sangat penting dalam proses pembelajaran karena itu kinerja guru harus ditingkatkan.

Pada hemat saya, yang menjadi masalah dasarnya adalah berkaitan dengan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Mengapa? Karena guru mempunyai peran sentral dalam seluruh proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Sampai saat ini, tidak dapat dipungkiri peran sentral dalam pendidikan di sekolah adalah guru dengan motivasi utamanya dalah sebagai pendidik.

Saya mensinyalir, terpuruknya mutu pendidikan dasar jenjang SD di NTT bukan pertama-tama disebabkan oleh kekuarangan fasilitas pendidikan melainkan karena rendahnya mutu tenaga pendidik dalam hal motivasi dan komitmen, disiplin kenerja, kompetensi dan kreatifitas. Kenyataan menunjukkan bahwa guru-guru SD masih jauh dari standar pendidik dan tenaga kependidikan yang dituntut pada zaman ini. Banyak guru di SD-SD tidak memenuhi kualifikasi kependidikan. Banyak guru yang bukan dari latar belakang keguruan. Guru-guru honor komite misalnya, direkrut dari tamatan SMA atau SMK dan mereka diminta untuk mengajar pada kelas rendah. Padahal anak-anak pada kelas rendah adalah anak-anak yang berada dalam usia emas yang penuh dengan kreatifitas, pembentukan sikap kritis dan sikap emansipatif. Karena itu pembelajaran di Sekolah Dasar hendaknya terjadi dalam proses yang benar dalam upaya pembebasan (Eduard Jebarus, 2008 hal. xiv )

Masalah lanjut dari kualitas guru SD ialah rendahnya kinerja dan motivasi guru dan minimnya methode untuk mengelola pembelajaran di kelas serta minusnya teknik serta prosedur pelaksanaan penilaian yang komprehensif. Kondisi ini harus mendapat tanggapan yang serius dari pelbagai pihak, jika kita berkomitmen mengembangkan mutu pendidikan pada jenjang SD di NTT.

Tak dapat disangkal bahwa tantangan guru tetap tidak ringan dan semakin kompleks serta berat dan selalu mengandung unsur ketidakpastian dalam situasi yang cepat berubah. Untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks itulah maka profesionalisme guru harus dapat ditingkatkan dari yang sudah ada selama ini. Menurut Ketua Komisi Pendidikan Keuskupan Maumere Romo Fidelis Dua, PR, M.Th, yang dimaksud profesionalisme adalah mutu, tindak tanduk, dan pertanggungjawaban yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Profesionalitas seorang guru harus terlihat dari kemampuan melakasanakan pembelajaran secara optimal. Guru harus mampu mengelola proses pembelajaran peserta didik  dalam melaksanakan pembelajaran, pelatihan dan bimbingan serta evaluasi secara maksimal agar kelak semakin mengenali dirinya, lingkungan dan dunianya dalam rangka menghadapi kehidupan.(Rm. Fidel Dua, Pr, MTh,  2011, hal. 4).

Salah satu solusi yang dapat dipetik ialah mesti ada  kerja sama Dinas PPO  dengan pelbagai Lembaga Mitra untuk peningkatan mutu pendidikan dasar jenjang SD. Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan dengan Fokus Pengembangan Perangkat Pembelajaran PAKEM Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) dan Peningkatan Manajemen Pengelolaan Sekolah (Penerapan MBS). Selain itu, perlu juga kemampuan Supervisi Pengawas dan Supervisi Kepala Sekolah dalam bidang akademik dan manajerial sampai kepada guru-guru di desa-desa atau pedalaman. Melalui model peningkatan ini, diharapkan menghasilkan serta menetapkan program dan kegiatan yang memungkinkan untuk dapat dilaksanakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan dalam jenjang SD di NTT.

Selain itu, kegiatan pelatihan guru dalam mempersiapkan bahan ajar, merancang metode pembelajaran, melaksanakan penilaian hasil belajar peserta didik dengan teknik dan prosedur penilaian yang benar, KKG (Kelompok Kerja Guru) harus terus digalakan secara bertahap dan berkesinambungan.

Sementara itu, pada tataran pendidikan nilai untuk pembentukan karakter, Gereja telah merancang suatu pembelajaran dengan Pendekatan Paradigma Pedagogi Refleksi (PPR). PPR adalah salah satu metode pengajaran dan pendidikan yang dikedepankan oleh Para Uskup lewat Nota Pastoral KWI tahun 2008 bahwa, “untuk mencapai kualitas pendidikan, pendekatan yang kiranya cocok digunakan antara lain Paradigma Pedagogi Refleksi (PPR), yaitu pola pembelajaran yang mengintegrasikan pemahaman masalah dunia dan kehidupan serta pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses yang terpadu, sehingga nilai-nilai itu muncul dari kesadaran dan kehendak peserta didik melalui refleksinya. Hasil refleksi itu tercermin dalam perubahan perilaku sehari-hari”. (Majalah Educare, No. 7/VII/Oktober 2010).

Dalam pendidikan dengan  pola PPR, yang dilakukan bukan saja mentransfer pengetahuan dan ketrampilan, namun juga penanaman nilai-nilai dari guru kepada peserta didik. Dengan PPR, peserta didik memahami masalah kehidupan (dunia). Karenanya, pendidik (guru) harus selalu berorientasi pada pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai itu dirancang  dan dikemas  dalam satu proses pembelajaran. Praktisnya, nilai-nilai kemanusiaan ditumbuhkan dari kesadaran dan kehendak peserta didik sendiri melalui sarana refleksi. PPR dalam pembelajaran membantu peserta didik untuk mendapatkan makna dalam hidupnya. Atau dengan kata lain, pembelajaran dengan pendekatan PPR dipastikan akan memberikan porsi pembahasan lebih mengenai realitas dan mungkin meruahkan pengalaman anak didik dalam suatu kasus tertentu. Kekuatan utama PPR adalah proses membangun motivasi peserta didik. PPR  memberikan kemampuan memotivasi diri untuk bertindak atas dasar pengetahuan yang telah dialaminya dan mempu mewujudkan dalam aksi yang bermanfaat bagi sesama. PPR pula mengkondisikan peserta didik belajar secara sungguh-sungguh tidak tunggu dari guru. Dengan adanya PPR yang mengedepankan proses refleksi dan aksi (tindakan) dari masing-masing peserta didik, pembelajaran menjadi lebih dinamis. Ini sangat membantu guru dalam menggali informasi dari peserta didik dalam rangka memperkaya topik atau tema yang sedang dibahas. PPR dapat meningkatkan mutu pendidikan untuk mencapai keunggulan pemanusiaan.

PPR semakin meneguhkan pendidikan karakter. Melalui PPR, sebagai sebuah pendekatan pembelajaran dapat menumbuhkembangkan  pengetahuan dan sikap batin peserta didik sehingga mampu melihat korelasi antara ilmu pengetahuan yang sedang dialami bersama dengan sesama dan lingkungan hidupnya. PPR yang rohnya pada kegiatan refleksi diyakini akan membantu implementasi pendidikan nilai menjadi lebih terarah dan tertangani secara integral dalam penyelenggaraan pendidikan.Lalu pendidikan nilai harus terangkum dalam semua bidang bukan hanya bidang akhlak mulia (pendidikan agama dan PPKN). Misalnya: guru mengajarkan matematika, satu tamba satu sama dengan dua (1+1= 2) pada SD kelas satu. Di sini, pada season refleksi di akhir pembelajaran siswa, perlu diantar untuk menyadari banwa ada nilai kebenaran, nilai kejujuran dan nilai penghargaan juga kesetiaan pada nilai kebenaran pada pelajaran tersebut.

Dalam usaha peningkatan mutu pendidikan kita di NTT mesti dimulai dari pendidikan SD. Di sana butuh para guru yang bermutu. Untuk peningkatan mutu guru harus digalakan berbagai kegiatan yang mendukung para guru. Butuh kerja sama pemerintah dengan seluruh komponen masyarakat. Dengan demikian kita mampu menciptakan manusia sebagai satu kesatuan yang utuh di sekolah-sekolah kita. Sebab, mutu sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak hanya ditunjukkan oleh prosentase kelulusan, tetapi juga dapat menghasilkan manusia yang berkarakter. Manusia yang mempu mendialogkan  ranah intelektual (akal budi) dan afeksi (hati nurani) dalam bersikap dan bertingkah laku. Ini harus dimuali dari pendidikan dasar.****
Penulis adalah aktivis Pendidikan, warga desa Natakoli Kecamatan Mapitara Kabupaten Sikka, NTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar