Senin, 13 Februari 2012

Nostalgia Pano Wa'i

Pano Wa'i menyusuri hutan-hutan eksotis
Puluhan tahun kami dari komunitas Mapitara harus berjalan kaki berkilo-kilometer menuju pusat kota Maumere yang biasa disebut Alok. Baik dari arah Mapitara-Bola, maupun Mapitara-Lere-Waigete, Mapitara--Watubala-Maumere. Dan, kebiasaan berulang itu menjadi sebuah tradisi Pano Wa'i (jalan kaki-red).

Biasanya perjalanan dilakukan dalam sebuah rombongan dengan membawa bekal makanan. Suasana perjalanan akan terasa sangat ramai ketika musim liburan sekolah usai. Anak-anak sekolah asal Mapitara ramai-ramai menuju kota Maumere untuk kembali ke sekolah.

Saya teringat masa lalu, bersama teman-teman ketika ingin melepas dahaga, kami berhenti dulu di Waira'at, sungai yang airnya sangat jernih dan dingin untuk rehat minum. Duduk, bersama teman-teman, melepas lelah di pinggir kali sambil minum air langsung dari sumbernya, sungguh terasa segar dan melegahkan, sambil menikmati makanan dari bekal yang dibawa. Biasanya ketupat dan lauk-pauk.

Jika kelelahan, kami biasa rebahan di atas batu-batu besar yang terletak di pinggir sungai sambil bercerita hal-hal yang lucu sehingga kadang-kadang tertawa lepas kami memecah keheningan pesona hutan alam yang masih perawan itu, kadang ditingkahi suara monyet, berbagai jenis burung, dan binatang jenis lainnya.

Yang sungguh menyebalkan ketika pada musim hujan, dalam perjalanan menuju lokasi kampung Mapitara melewati Blidit, Waira'at dan sekitarnya yang masih penuh dengan hutan perawan itu, betis kami biasanya dihinggapi tamu tak diundang yaitu lintah yang mengisap darah kami dan meninggalkan bekas luka. Uh... menyebalkan....

Akses jalan menuju Gunung Egon dan Desa Egon Gahar seperti terekam dalam gambar di atas, masih memprihatinkan. Padahal, ada kandungan belerang yang bisa dikelola dengan baik. Konon kandungannya, terbesar di dunia dan juga pemandian air panas serta sentra sayur-sayuran segar seperti wortel, sawi, kol, kentang dan lain-lain di Baokrenget yang mampu men-suplai kebutuhan warga kota Maumere dan sekitarnya.

Ketika kami melalui jalur menuju arah Bola, maka di pinggir pantai pasir putih Doreng, pada siang hari, kami biasanya melepas lelah menikmati pecahan gelombang air laut yang gelombang lautnya berlapis. Pemandangan ini hanya ada di pantai tersebut. Gelombang berlapis ini menyebabkan motorboat, sampan maupun moda transportasi lautnya lainnya tidak dianjurkan untuk membuang sauh di pinggir pantai itu.

Sementara mendekati kampung Bola kami akan melewati sungai bernama Wair Rabung (Air kabur). Air sungai ini warnanya kabur, tidak jernih sehingga diberi nama Wair Rabung. Kami biasanya rehat sebentar. Jelang sore hari kami tiba di Waigete (kali besar yang airnya mengalir dan bermuara di laut). Kali ini sangat luas dan di pinggir kali dekat laut berdiri tebing-tebing yang menjulang tinggi. Kami akan rehat sebentar sambil mandi, sekadar menyegarkan tubuh kami kemudian perjalanan dilanjutkan ke kampung Bola. Sebelum menginjak kampung Bola kami akan menyinggahi pasar Bola yang letaknya di Baluk, persis di depan pantai Watukrus, Baluk- Bola.

Ya, begitulah masa lalu yang indah dan penuh kenangan bagi kami ketika melewati rute-rute itu lagi. Kalau ditanya siapa orang yang kuat jalan kaki, maka komunitas Mapitara adalah orangnya karena sudah terlatih bertahun-tahun berjalan kaki. Ini juga tanpa kami sadari, telah menggembleng kami untuk tangguh menghadapi tantangan hidup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar